Thursday, November 1, 2007

Cerita dari perjalanan 1

Orang desa saba Amerika. Begitulah barangkali julukan yang akan diberikan orang pada saya. Ini adalah perjalanan pertama saya ke Amerika. Jika perjalanan pergi yang saya rasakan lancar-lancar saja, mungkin karena saya sudah siap menerima kesulitan perjalanan yang sudah saya dengar dari berbagai orang. Sejak sulitnya memperoleh visa (dan ternyata tidak jadi masalah buat saya), petugas imigrasi baik di Singapur maupun di Amerika, yang juga lancar-lancar saja.

Bagaimana selama di sana? Yang mengesankan buat saya adalah rumah-rumah yang tidak berpagar pembatas. Tidak khawatir dimasuki orang lain?
Dulu saya mengartikan high contact culture dan low contact culture saya sering terbalik. High contact culture artinya budaya dimana kontak fisik dengan orang lain dianggap hal biasa, misalnya berdiri berdekatan, salaman, pelukan atau ciuman pipi ketika bertemu adalah hal biasa. Bangsa Amerika, cenderung low contact, meskipun ada yang mengatakan in between high dan low contact culture. Itu sebabnya saya heran, kalau mereka tidak terbiasa kontak, mengapa tidak ada pagar rumah yang akan membatasi interaksi dirinya dengan orang lain. Rupanya, karena yakin bahwa orang lain tidak akan mendekati dirinya, maka pagar rumah menjadi tidak penting lagi. Karena yakin bahwa orang lain akan menghormati wilayahnya, maka pagar rumah dianggap tidak terlalu penting lagi. Indonesia termasuk high contact atau low contact? Nah, tergantung. Kalau di kota besar cipika cipiki sudah jadi kebiasaan, baik antar wanita, wanita dengan pria atau pria dengan pria. Beda dengan di daerah atau di kota kecil. Dulu saya merasa bahwa Indonesia termasuk low contact culture, tapi, rumah di Indonesia selalu berpagar. Barangkali memang gak ada hubungan antara high contact culture atau low contact culture dengan kebiasaan rumah berpagar. Kesadaran orang akan hak orang lain lah yang kelihatannya menentukan, keberadaan pagar ini.
Hal berikutnya yang berkesan bagi saya adalah transportasi yang digunakan mereka, jaringan bus yang menghubungan transfer point dengan transfer point lainnya. Saya mengkhususkan waktu sehari minta diantar anak saya mengelilingi kota Lansing dengan bus. Barangkali menggelikan bagi orang lain, tapi saya keukeuh minta ditemeni dia. Masuk bus, masukkan uang sedollar (anak saya pake kartu langganan), sambil bilang "may I have transfer please", maka si supir bus akan memberikan karcis transfer yang berlaku dua kali naik bus lagi atau dua jam sejak karcis diprint. Bagian depan disediakan untuk handicapped person atau manula. Hebatnya, mobil akan direndahkan jika ada orang berkusi roda naik atau turun bus, untuk memudahkan mereka. Supir juga akan membantu mereka untuk duduk dengan aman di kursi rodanya di dalam mobil. Padahal mereka punya jadwal untuk sampai di tiap bus stop atau point transfer.
Yang mengesankan berikutnya, adalah yang berkaitan dengan pelayanan baik waktu belanja, di restoran atau di pesawat. Pegawai toko akan menyapa kita dengan how are you atau have a nice day ketika kita selesai bayar. Saya coba bayangkan di Indonesia. Katanya orang Indonesia itu ramah. Menurut saya tidak sepenuhnya benar. Kalau kita mengartikan senyumnya orang Indonesia ramah, mungkin benar, tapi ramah yang tidak mengandung empathy, hanya fisik saja. Ada benarnya pendapat Rick Moore yang mengatakan, orang Indonesia itu murah senyum, tapi ketika dia sebagai patron apartemen minta bantuan petugas apartemen karena ada bagian yang tidak berfungsi di apartemennya, petugas tidak bener bener mencarikan jalan keluar untuk Rick.
Service yang mereka lakukan betul-betul menunjukkan empathy pada konsumen. Di pesawat misalnya, mereka bantu kita mencarikan tempat untuk menyimpan cabin bag, menawarkan minuman, dsb. Atau di restoran, waitres atau waiter akan nanya, apakah semua sudah sesuai dengan keinginan, apakah tidak ada masalah, adakah yang masih diperlukan, ...
Di Indonesia, sulit meniru hal yang sama. Mengapa? Menurut saya feodalisme yang masih berlaku di bangsa ini salah satu penyebabnya. Pekerjaan pelayanan dianggap pekerjaan rendah, maka berada pada posisi itu sebetulnya berada pada posisi tidak enak. Hanya karena kebutuhan perutlah yang menyebabkan orang menjalani pekerjaan tersebut, maka keterpaksaan lah yang ada. Tidak heran kalau teman saya berkomentar begini: "tersenyum adalah bagian dari job descriptionnya pramugari". Waaahh...bisa gak tulus dong, karena dorongannya eksternal bukan internal. Kembali lagi persoalannya adalah arti manusia, bagi manusia lainnya.
Baru saja saya mendengar "sultan Jogya" mengatakan kata yang sama dengan salah satu judul blog saya "memanusiakan manusia".
Cerita sambungannya, saya akan ceritakan di bagian kultur. Have a nice day. :=)

Memanusiakan Manusia?

Beberapa hari ini saya merasa punya utang pada seseorang di kantor, seorang petugas tingkat teknisi. Pasalnya, saya belum sempat mengucapkan salam lebaran, mohon maaf lahir bathin. Karena biasanya setiap lewat tempatnya bertugas, saya selalu menyapa dia. Sibuk, itulah alasan nya.

Pulang dari nengok anak saya di Michigan, ada banyak pengalaman yang saya ambil selama perjalanan. Pertama tentang petugas imigrasi yang saya ceritakan di bagian lain blog ini, bulan lalu. Pengalaman ini saya ceritakan di kelas, waktu mahasiswa saya nagih oleh-oleh. Oleh-olehnya cerita. Karena cerita itu, saya jadi teringat kejadian yang serupa. Saya juga ceritakan kejadian yang lain yang saya alami beberapa tahun yang lalu, ketika saya mengerjakan proyek di sebuah BUMN penting. Saking pentingnya, BUMN ini merasa perlu melakukan penjagaan yang ketat. Setiap tamu, visitor harus punya kartu visitor. Kalau kita akan menjadi visitor cukup lama kita juga wajib menjalani screening. Proses ini merupakan proses di mana kita harus mendaftar di sekuriti, mengikuti tes tertulis, yang isinya pertanyaan berkaitan dengan ideologi. Seperti ujian P4 dan PPKN deh.
Teman saya yang berangkat sebelumnya waktu itu marah-marah karena harus ikut proses ini. Selain itu kekesalan dia juga bertambah karena setiap keluar masuk instalasi/plant area dia mesti diperiksa sekuriti. Termasuk kalau harus keluar kompleks mau ke pasar atau mau makan seafood yang sedap itu, malam malam. Ketika tahu saya mau ke sana juga, dia nakut-nakutin saya, "rasain deh nanti" katanya.
Pada saatnya tiba, saya malah lebih siap. It is ok, kalau saya harus melewati hal tersebut, rileks aja. Jadi, ketika harus ikut screening, karena saya lebih bersikap pasrah, saya lebih santai, bahkan bisa ngobrol dengan santai dengan petugasnya. Walhasil saya bisa menjalani semuanya dalam waktu yang singkat. Ketika keluar masuk kompleks saya juga sudah siap. Beberapa meter sebelum pos penjagaan, saya sudah buka kaca jendela (aturannya begitu), saya ucapkan salam pada penjaga dengan santai. "Malam pak". Beres, lancar. Dia tengok dikit. Pass.
Ketika masuk plant site nih besoknya, lengkap dengan rombongan para asisten dan rekan lainnya, saya dikerjain mereka. Jalan duluan Bu, katanya. OK, saya bilang. Saya maju duluan bareng satu asisten. Dengan ramah dan respek pada petugas, saya ucapkan "selamat pagi pak", lewat, tanpa pemeriksaan barang bawaan dan tas. Semua surprise. Lho kok kali ini gak diperiksa, biasanya kami selalu kena periksa. Sejak itu saya dijuluki mayoret, karena keluar masuk plant site itu selalu di depan.
Dua kejadian ini yang membuat saya merenung dan menceriterakan nya kembali kepada mahasiswa saya. Barangkali, ini barangkali ya, karena saya memandang mereka (petugas sekuriti) juga manusia dan saya memperlakukan mereka seperti manusia lainnya, yang sekali lagi saya hargai mereka karena sebetulnya mereka menjalankan tugas yang seharusnya mereka lakukan. Menjaga keselamatan negera atau instalasi yang harus mereka jaga. Dan yang kedua, mungkin juga karena saya sendiri sudah pasrah. Ketika dalam seminggu saya di sana, saya sekali waktu kena juga diperiksa, tidak ada masalah (maksudnya diperiksa itu tas dan segala yang kita bawa harus diperlihatkan pada petugas, termasuk isi tas tangan kita). Perasaan saya ringan-ringan saja.
Dari beberapa kejadian ini, kemudian saya teringat istilah yang biasa didengungkan teman saya, "memanusiakan manusia". Arti dari sepenggal kalimat ini sangat mendalam. Dan saya merasa saya belum sanggup menjalankannya. Itu sebabnya saya merasa berhutang, seperti yang saya ceritakan di awal.
Semoga Tuhan selalu mengingatkan saya, untuk menghargai keberadaan manusia lain. Amin.