Thursday, August 9, 2007

Peter Principle 1

Saya ceritakan dulua asal mula kepenasaran saya mencari buku yang disebut The Peter Prescription.
Awal tahun 2007 ini, semua yang ngajar (in English) nya masih dodol diminta ikut kursus. Salah satu instrukturnya namanya Andy. Galak, tapi humoris. Sekali waktu saya kebagian membawakan kasus depan dia untuk dikritisi, kekurangannya dan diberi saran perbaikan. Kasus yang kubawakan, bagaimana seseorang manapaki jenjang karir, naik ketingkat yang lebih tinggi, tapi ternyata dia tidak mampu menjalankannya. Waktu itu saya bilang, mungkin tidak terbiasa atau belum bisa mengubah sikap staf menjadi bos. Karena teman lamanya sekarang berada di posisi bawah, jadi tidak terbuka lagi. Atau barangkali kebiasaan mico manager nya masih kebawa sampai posisi bos. Nah yang satu ini merupakan derailment bagi seorang leader.

Waktu itu lah Andy bilang ada sebuah prinsip yang disebut Peter principle yang bunyinya:

"In a hierarchy every emlpoyee tend to rise to his level of incompetence"

Saya cari bukunya, saya temukan hanya ada used book di Amrik sana, harganya cuma 6 dollar sen. Mahalan ongkos kirimnya. Kukirim ke rumah ponakanku. Waktu bapaknya nengok dan balik lagi ke Indonesia, buku itu sudah dibawakannya. Ternyata isinya menarik sekali.

Saya akan menceritakannya satu per satu.

Menurut Peter, manusia itu menciptakan hierarkhi selama hidupnya. Sejak masa kecilnya. Bayangkan saja sekolah ada jenjangnya: TK, SD, SMP, SMU...dst Lihat lagi di organisasi, di pemerintahan, di militer...dan lain lain.

Inti dari prinsip yang dia kemukakan ini adalah bahwa, umumnya manusia akan mengembangkan dirinya sampai suatu saat sampai di titik tidak ada lagi tangga ynag dapat dititi nya. Ambisi manusia akan membuat dia menciptakan tangga lanjutannya. Sampai suatu ketika ujung tangga ini tidak dapat ditapakinya, karena ketidak kompetenan dia.

Banyak kasus yang memberi contoh situasi ini. Saya mengerti sekarang mengapa seorang tukan sate yang jualan di pojok jalan Pendawa tidak mau meningkatkan usaha nya menjadi lebih besar. Padahal konon satenya laku sekali, sehingga dia bisa berangkat ke Mekah lima kali selama ini. Alasannya simpel. Dia khawatir tidak dapat mengelolanya.
bagaimana contoh lain ...akan saya bahas di waktu lain.

Abilene Paradox, Asumsi

Pernah denger tentang Abilene Paradox? Cerita tentang kesalah persepsian dan salah asumsi ini sering saya jadikan contoh di kelas. Ceritanya saya modifikasi dengan cerita Indonesia. Kira-kira begini: Di satu hari Minggu siang yang panas sebuah keluarga berkumpul sambil ngobrol ke sana kemari. Sepasang suami istri dengan anak dan mantunya, ngobrol keseharian. Tiba-tiba sang Bapak mertua mengajak yang lainnya untuk makan siang di luar. "Kalau kita makan di Ciganea (yang di Purwakarta maksudnya, dulu belum ada Ciganea di Bandung) kayaknya enak ya" Mula-mula si isteri (ibu) diem aja, tidak menanggapinya. Tidak lama kemudian anak perempuannya menjawab: Iya pak, kayaknya enak ya makan di luar minggu minggu gini. Sambil jalan-jalan. Melihat respon isterinya, sang mantu (suami anaknya si Bapak) bereaksi juga: Wah boleh tuh, aku ikut deh. Akhirnya, sang mertua perempuan jadi ikut juga melihat semuanya sepakat untuk pergi.
Perjalanan ke Ciganea, ditempuh dalam waktu relatif cepat, lewat Cipularang minggu siang gak terlalu rame, sejam setengah kemudian sudah di depan Rumah Makan bu Haji Ciganea. Waduh ternyata gak bisa langsung duduk, karena antrian sudah lumayan banyak. Jadi lah mereka menunggu setengah jam untuk mendapat tempat duduk. Maklum laku sekali restoran yang terkenal dengan sambel dadak nya ini.
Maklum musim kemarau, ditambah Purwakarta memang lebih panas dari Bandung, makan sambil keringetan, seperti orang Indonesia pada umumnya, selesai setengah jam. Sudah ditunggu pelanggan lain yang ingin makan juga.
Sore-sore 4 jam sejak keberangkatan dari Bandung, mereka berempat sudah kembali berada di rumah. Turun dari mobil, sang anak perempuan bilang, enak juga ya tadi makan, sampai kenyang begini. Ibunya menjawab: apanya yang enak, makan aja harus ngabisin waktu empat jam dengan perjalanan, di panas yang berdebu pula. Aku gak menikmatinya. Respon ibu mertua ini ditimpali juga oleh sang mantu, iya mana agak macet lagi jalanan, banyak yang nyetir ugal-ugalan (maklum dia yang nyetir saat itu). Habis, kata anak perempuannya, aku kasihan sama Bapak. Ngajak makan, gak ada yang merespon. Padahal sih aku juga males keluar rumah. Hari panas berdebu kayak gini. Ternyata ketahuan bahwa si Bapak pun sebenarnya tidak terlalu berminat makan di luar, tapi karena dia pikir semua orang lagi bosan dan ingin menyenangkan istri, anak dan mantu nya dan dia menganggap bahwa ajakan makan adalah ajakan yang tepat maka, keluarlah ajakan tadi. Yang lain menyambut ajakan tadi juga berasumsi bahwa sang Bapak, dan sang anak perempuan, kepingin sekali pergi makan di lauar. Dan karena rasa sayang dan ingin menyenangkan pihak lain itu yang membuat mereka mau pergi.

Apa makna semua ini?

Pertama, niat baik tidak selalu menghasilkan kebaikan. Niat baik nya si Bapak, tidak menghasilkan kebaikan. Ada kata kata bijak yang mengatakan "road to hell pave with good intentions" .....
Jadi niat baik saja tidak cukup. Tentang hal ini saya sudah sering mengkritik suami yang mengatakan "niatku kan baik" meskipun hasilnya jelek, yang penting niatnya sudah baik. Menurut saya ada hal lain yang perlu diperhatikan untuk mencapai tujuan baik atau mewujudkan niat baik ini, yaitu cara. Niat baik kalau cara tidak baik, bisa jadi hasilnya malah busuk.

Kedua, jangan gunakan asumsi.
Asumsi bahwa orang memperhitungkan diri kita, asumsi bahwa orang lain tahu tugasnya, asumsi bahwa orang lain tahu batas, asumsi bahwa orang lain akan sebaik kita memperlakukan dia, asumsi bahwa orang lain akan jujur dengan ucapannya...asumsi bahwa pembimbing akan memberi tahu kesalahan, asumsi bahwa semua bisa dikerjakan dengan mudah, ....dan masih banyak lagi.
Saya berikan beberapa contoh kejadian yang menimpa seseorang akhir-akhir ini, berkaitan dengan asumsi.
Tiba-tiba rapat dibatalkan. Lho, mengapa? Kan sedang pada sibuk hari ini. Wah...padahal saya sudah menggeser acara supaya pada saat rapat kosong.
Ini keputusan yang didasarkan asumsi.

Contoh lain: Keluar dari bandara, kami (aku dan suamiku kembali ke tempat mobil diparkir). Lho kok mobil tidak ada di tempatnya. Aku belum pikun lah, untuk tidak mengenali tempat parkir di terminal 2. Setelah ditelpon ternyata, mobil dipindah oleh supir, dan dia nunggu di pintu keluar. Lho wong aku dan suamiku ambil jalan lain waktu keluar dari bandara menuju mobil, tidak ambil jalan semula. Ya...gak ketemu dong. Aku cuma bisa nyengir deh kalau sudah begitu, ya salah sendiri gak bilang dan berasumsi, supir akan ngerti kalau mindahin mobil itu akan lapor, harusnya kan kukasih tahu kalau tahu begitu. Kami memutuskan pergi dari bandara 5 menit sebelum jadwal take off nya anak kami ke Seoul. Di perjalanan, masih di lingkungan Cengkareng, anakku nelpon, ngabari mau boarding dan ngabari kalau semua HP gak akan bisa dipake di Seoul, karena sistemnya tidak compatible. Kecuali yang 3 G katanya.
Nah...ini akibat asumsi juga kan. Asumsinya, telkomsel bisa digunakan atau konek di mana saja, seperti iklannya.
Kata dia lagi, satu dari 3 temennya bawa 3 G, jadi dia akan sms aku sesampai di Seoul pinjem HP temennya. Lega juga rasanya masih ada komunikasi deh. Atau dia bisa sewa HP di sana. Padahal di sini dia sudah isi IM3 nya 200 ribu isinya. Maih dikasih catatan, kalau kurang kamu telpon ibu nanti diisi dari Bandung sini. Hehehehe.....
Pagi-pagi aku sudah ngitung nih, mestinya sudah sampai mereka di Seoul nih. Kok belum ada sms ya. Suamiku tanya, sudah ada kabar?
Gak lama kemudian ada telpon, nomornya aneh sekali. Eh dia ternyata ngabari bahwa sudah sampai di Seoul, pake kartu telepon. Soalnya semua HP, even 3G gak jalan di sana. Nah kan korban asumsi lagi.
Masih panjang sih sebetulnya cerita tentang asumsi dan pengambilan keputusan ini. Intinya, asumsi salah ya pengambilan keputusan salah juga lah.

Abilene paradox sendiri sebetulnya dikaitkan dengan masalah persepsi dan atribusi. Bagaimana kesalahan persepsi bisa terjadi? Karena (salah satunya) kita sering mengukur orang lain dengan diri kita. Di sini kepekaan perlu diasah. Nah kalau dikaitkan dengan konsep self monitoring, untuk mengatasi kesalahan persepsi akibat kita memproyeksikan diri kita pada orang lain, diperlukan kepekaan dalam "membaca" perasaan orang lain.

Wednesday, August 1, 2007

Sistem Kinerja.

Tiga minggu belakangan ini topik hangat yang selalu dibicarakan super bos adalah banyaknya Staff/Analis yang nganggur, kurang kerjaan. Padahal digaji penuh.
Minggu pertama Kepala Seksi yang membawahi Staff Junior ini dikumpulkan Big Boss. "Sya tengarai banyak Staff yang nganggur, datang siang" Bagaimana nih para KaSexi, apakah cara mengalokasikan tugas dan pemantauannya sudah benar?
Satu per satu Kepala Sexi (botak kali ya) mengemukakan pendapatnya. Big Boss manggut-manggut. Yang satu bilang, berdasarkan standar beban kerja sebetulnya sudah dipenuhi. Yang lain bilang kami sudah membuat laporan kegiatan kami mingguan. Yang satu kagi bilang, yaa malah masih banyak tugas tambahan yang tidak tercatat yang datangnya belakangan dan gak bisa ditolak. Ok...Ok...kalau gitu aman. Terimakasih. Maaf kalau saya salah duga selama ini.
Semua Kepala Sexi lega, bereeees. Rapat selesai. Persoalan selesai.
Beberapa hari kemudian, tiba-tiba para Kepala Sexi ini diminta rapat lagi (di luar rencana) soalnya harusnya gak tiap minggu ada rapat Kepala Sexi. Ada apa lagi?
Maaf, rapat mendadak, ada persoalan genting, Big Boss membuka rapat, sementara para Kepala Sexi belum lengkap. Maklum rapatnya mendadak. Kertas diedarkan, isinya alokasi tugas resmi setengah tahun ke belakang ini. Banyak Staff Junior yang makan gaji buta, tidak mendapat tugas apa-apa setengah tahun mendatang ini. Padahal mereka mendapat gaji besar, pantesan aja banyak yang berminat untuk melamar kerja di sini.
Di surat penugasan ini kelihatan ada beberapa yang kurang pembebananya memang. Salahkah? Apakah Kepala Seksi bohong minggu lalu tentang penugasan sudah penuh ini? Banyak pelajaran yang bisa dikaji dari persoalan ini.
Menurut Jawaban Kepala Seksi:
1. Ini tugas periode setengah tahun ke belakang, di mana ada plot lain, selain tugas yang tertera di kertas ini. Walhasil informasinya gak lengkap.
2. By design, memang akan seperti itu alokasinya, karena ada tugsa lain diluar catatan tadi. Tapi belum ada mekanisme pencatatannya
3. Sebagian dari staff ini baru diangkat, Kepala seksi juga belum tahu, kalau staff ini sudah diangkat, bagaimana mau kasih tugas.
4. Ada staf yang dialkoasikan di satu seksi, tapi kepala seksi nya tidak merasa membutuhkan orang ini, karena tidak masuk kriteria dan tidak sesuai kebijakan yang ada di mana staff harus memilih mau jadi fungsional atau mau di struktural. Masih ada staff yang berstatus memegang dua jabatan berbeda. Susah lah ngaturnya. Bagaimana mengukur kinerjanya?

Sorenya semua staff dan para manajer di tiap layer dikumpulkan. Kembali masalah ini dibuka. Big Boss mengatakan kembali keberatannya. Sampai keluar kata kata yang gak enak di dengar di depan semua orang seperti "kamu digaji besar tapi tidak bekerja apa apa".
Besoknya semua staff khusus dikumpulkan. Kembali diberi tahu langsung oleh Big Boss, standarnya harus pegang tugas dua program, plus administrasi, plus riset, plus...plus. Kok berubah ya., dari rancangan semula yang mengatakan hanya pegang dua program saja. Dulu hitung-hitungannya begitu deh.
Celakanya salah satu staf ada yang gak terima diperlakukan seperti itu. Dia membantah. Gimana mungkin dia makan gaji buta, padahal pekerjaan dian banyak sekali, sudah menghasilkan beberap disain, riset, dan membantu senior seniornya. Belum lagi membantu para karyawan di level teknisi. Wah....memalukan. Big Boss minta maaf karena hal ini. Positif atau negatif. Positifnya, Big Boss gentleman mengakui kesalahan. Negatifnya, kurang hati-hati, kalau terlalu sering begini, bisa bisa kehilangan wibawa.
Mengapa sih sebenarnya semua persoalan ini terjadi?
Pertama: informasi yang digunakan keliru, atau tidak lengkap. Bagaimana mungkin menilai kinerja seseorang hanya dari sebagian penugasan saja. Bagaimana dengan penugasan yang lain, yang tidak tercatat. Adakah sistem pencatatannya?
Kalau tidak ada, bagaimana mau menilai performance seseorang, lha alat ukurnya juga gak ada.
Kedua, bagaimana mau berkinerja, kalau fasilitasnya juga tidak didukung, persetujuan anggaran yang diajukan sudah setengah semester tidak ada kejelasan, membuat beberapa kegiatan tidak bisa dijalankan.
Ketiga, mengapa para Kepala Sexi tidak diberiotorita yang cukup untuk mengelola staffnya. Kurang percaya? Micro manager? atau ada yang lain?
Mengapa isyu ini tidak pernah selesai? Ada yang mencari keuntungan dari situasi ini? Ada apa dibalik ini semua? Belum lagi mekanisme yang gak jelas. Kalau ada yang kurang, Kepala Sexi ini dioyak oyak. Kalau sukses? Apa ada penghargaan?
Persoalan lain dampak sampingan dari kocar kacir nya sistem manajemen yang ada adalah ternyata ada yang masih diminta kerja di dua seksi, gak jelas deh tanggungjawabnya.

Lesson Learned nya:
1. sistem kinerja perlu disediakan, kriteria kinerja perlu ditentukan, juga mekanismenya, dan apa konskuensinya.
2. Baru monitor bisa dijalankan kalau sudah jelas kriteria penilaian.
3. Kalau ada yang berkinerja? Diberi reward? Harus dong. Kalau ada yang tidak berkinerja? Dihukum atau dibina? Kalau dasarnya psikologi positif tentunya dibina. Sanggup melakukan coaching? Harus, tidak ada jalan lain. Di sini lah fungsi manajemen sumber daya manusia berjalan. Penilaian Kinerja bukan untuk menghukum, tetapi untuk "membina manusia".
4. Jangan menilai tanpa fakta. Itu tidak fair atau kita akan kehilangan muka. Karena si ini kelihatan baik, kelihatan sering melapor, maka seolah olah banyak kerjaannya. Yang lain yang banyak kerja, tapi gak banyak omong malah dianggap gak ada kerjaan. Feodal sekali, kalau sebentar sebentar staff harus lapor. Kapan kerjanya
5. Jangan berlakukan standar ganda, staff yang satu harus memenuhi persyaratan tertentu, dites ini itu, yang lain tidak.
6. Memberikan feedback kinerja, tidak di depan umum. Harusnya individual.