Wednesday, August 1, 2007

Sistem Kinerja.

Tiga minggu belakangan ini topik hangat yang selalu dibicarakan super bos adalah banyaknya Staff/Analis yang nganggur, kurang kerjaan. Padahal digaji penuh.
Minggu pertama Kepala Seksi yang membawahi Staff Junior ini dikumpulkan Big Boss. "Sya tengarai banyak Staff yang nganggur, datang siang" Bagaimana nih para KaSexi, apakah cara mengalokasikan tugas dan pemantauannya sudah benar?
Satu per satu Kepala Sexi (botak kali ya) mengemukakan pendapatnya. Big Boss manggut-manggut. Yang satu bilang, berdasarkan standar beban kerja sebetulnya sudah dipenuhi. Yang lain bilang kami sudah membuat laporan kegiatan kami mingguan. Yang satu kagi bilang, yaa malah masih banyak tugas tambahan yang tidak tercatat yang datangnya belakangan dan gak bisa ditolak. Ok...Ok...kalau gitu aman. Terimakasih. Maaf kalau saya salah duga selama ini.
Semua Kepala Sexi lega, bereeees. Rapat selesai. Persoalan selesai.
Beberapa hari kemudian, tiba-tiba para Kepala Sexi ini diminta rapat lagi (di luar rencana) soalnya harusnya gak tiap minggu ada rapat Kepala Sexi. Ada apa lagi?
Maaf, rapat mendadak, ada persoalan genting, Big Boss membuka rapat, sementara para Kepala Sexi belum lengkap. Maklum rapatnya mendadak. Kertas diedarkan, isinya alokasi tugas resmi setengah tahun ke belakang ini. Banyak Staff Junior yang makan gaji buta, tidak mendapat tugas apa-apa setengah tahun mendatang ini. Padahal mereka mendapat gaji besar, pantesan aja banyak yang berminat untuk melamar kerja di sini.
Di surat penugasan ini kelihatan ada beberapa yang kurang pembebananya memang. Salahkah? Apakah Kepala Seksi bohong minggu lalu tentang penugasan sudah penuh ini? Banyak pelajaran yang bisa dikaji dari persoalan ini.
Menurut Jawaban Kepala Seksi:
1. Ini tugas periode setengah tahun ke belakang, di mana ada plot lain, selain tugas yang tertera di kertas ini. Walhasil informasinya gak lengkap.
2. By design, memang akan seperti itu alokasinya, karena ada tugsa lain diluar catatan tadi. Tapi belum ada mekanisme pencatatannya
3. Sebagian dari staff ini baru diangkat, Kepala seksi juga belum tahu, kalau staff ini sudah diangkat, bagaimana mau kasih tugas.
4. Ada staf yang dialkoasikan di satu seksi, tapi kepala seksi nya tidak merasa membutuhkan orang ini, karena tidak masuk kriteria dan tidak sesuai kebijakan yang ada di mana staff harus memilih mau jadi fungsional atau mau di struktural. Masih ada staff yang berstatus memegang dua jabatan berbeda. Susah lah ngaturnya. Bagaimana mengukur kinerjanya?

Sorenya semua staff dan para manajer di tiap layer dikumpulkan. Kembali masalah ini dibuka. Big Boss mengatakan kembali keberatannya. Sampai keluar kata kata yang gak enak di dengar di depan semua orang seperti "kamu digaji besar tapi tidak bekerja apa apa".
Besoknya semua staff khusus dikumpulkan. Kembali diberi tahu langsung oleh Big Boss, standarnya harus pegang tugas dua program, plus administrasi, plus riset, plus...plus. Kok berubah ya., dari rancangan semula yang mengatakan hanya pegang dua program saja. Dulu hitung-hitungannya begitu deh.
Celakanya salah satu staf ada yang gak terima diperlakukan seperti itu. Dia membantah. Gimana mungkin dia makan gaji buta, padahal pekerjaan dian banyak sekali, sudah menghasilkan beberap disain, riset, dan membantu senior seniornya. Belum lagi membantu para karyawan di level teknisi. Wah....memalukan. Big Boss minta maaf karena hal ini. Positif atau negatif. Positifnya, Big Boss gentleman mengakui kesalahan. Negatifnya, kurang hati-hati, kalau terlalu sering begini, bisa bisa kehilangan wibawa.
Mengapa sih sebenarnya semua persoalan ini terjadi?
Pertama: informasi yang digunakan keliru, atau tidak lengkap. Bagaimana mungkin menilai kinerja seseorang hanya dari sebagian penugasan saja. Bagaimana dengan penugasan yang lain, yang tidak tercatat. Adakah sistem pencatatannya?
Kalau tidak ada, bagaimana mau menilai performance seseorang, lha alat ukurnya juga gak ada.
Kedua, bagaimana mau berkinerja, kalau fasilitasnya juga tidak didukung, persetujuan anggaran yang diajukan sudah setengah semester tidak ada kejelasan, membuat beberapa kegiatan tidak bisa dijalankan.
Ketiga, mengapa para Kepala Sexi tidak diberiotorita yang cukup untuk mengelola staffnya. Kurang percaya? Micro manager? atau ada yang lain?
Mengapa isyu ini tidak pernah selesai? Ada yang mencari keuntungan dari situasi ini? Ada apa dibalik ini semua? Belum lagi mekanisme yang gak jelas. Kalau ada yang kurang, Kepala Sexi ini dioyak oyak. Kalau sukses? Apa ada penghargaan?
Persoalan lain dampak sampingan dari kocar kacir nya sistem manajemen yang ada adalah ternyata ada yang masih diminta kerja di dua seksi, gak jelas deh tanggungjawabnya.

Lesson Learned nya:
1. sistem kinerja perlu disediakan, kriteria kinerja perlu ditentukan, juga mekanismenya, dan apa konskuensinya.
2. Baru monitor bisa dijalankan kalau sudah jelas kriteria penilaian.
3. Kalau ada yang berkinerja? Diberi reward? Harus dong. Kalau ada yang tidak berkinerja? Dihukum atau dibina? Kalau dasarnya psikologi positif tentunya dibina. Sanggup melakukan coaching? Harus, tidak ada jalan lain. Di sini lah fungsi manajemen sumber daya manusia berjalan. Penilaian Kinerja bukan untuk menghukum, tetapi untuk "membina manusia".
4. Jangan menilai tanpa fakta. Itu tidak fair atau kita akan kehilangan muka. Karena si ini kelihatan baik, kelihatan sering melapor, maka seolah olah banyak kerjaannya. Yang lain yang banyak kerja, tapi gak banyak omong malah dianggap gak ada kerjaan. Feodal sekali, kalau sebentar sebentar staff harus lapor. Kapan kerjanya
5. Jangan berlakukan standar ganda, staff yang satu harus memenuhi persyaratan tertentu, dites ini itu, yang lain tidak.
6. Memberikan feedback kinerja, tidak di depan umum. Harusnya individual.

2 comments:

santo said...

Intinya mah bu, mesti tercatat tugas regular dan dan tugas tambahannya.. terus kepala Sexi ga boleh males untuk update tugas2 anak buahnya.

Pelajaran dari company sini sih, saya mesti buat objective dan peugasan yang jelas ke seluruh anak buah, despite like them or not. karena kita kan ga pernah bisa pilih anak buah seperti ga bisa pilih bos kan? :)

aku pikiri, sometimes, di SBM tuh cukup senang untuk pilih2 orang! nampaknya budaya itu juga mesti dikikis deh bu...

yah, hanya sekedar masukan dari orang luar sih bu :)

Nurhajati Ma'mun said...

Yup...bener banget. Yang gak fair kalau kita menilai kinerja tapi gak tahu syarat atau kriteria tercapainya kinerja tersebut. Belum lagi tidak ada fasilitasnya.
Semakin repot aja deh.
Ibarat istri di rumah harus masak enak, tapi suami gak kasih duit untuk belanja....dan gak kasih feedback makanan enak itu seperti apa.