Thursday, August 9, 2007

Abilene Paradox, Asumsi

Pernah denger tentang Abilene Paradox? Cerita tentang kesalah persepsian dan salah asumsi ini sering saya jadikan contoh di kelas. Ceritanya saya modifikasi dengan cerita Indonesia. Kira-kira begini: Di satu hari Minggu siang yang panas sebuah keluarga berkumpul sambil ngobrol ke sana kemari. Sepasang suami istri dengan anak dan mantunya, ngobrol keseharian. Tiba-tiba sang Bapak mertua mengajak yang lainnya untuk makan siang di luar. "Kalau kita makan di Ciganea (yang di Purwakarta maksudnya, dulu belum ada Ciganea di Bandung) kayaknya enak ya" Mula-mula si isteri (ibu) diem aja, tidak menanggapinya. Tidak lama kemudian anak perempuannya menjawab: Iya pak, kayaknya enak ya makan di luar minggu minggu gini. Sambil jalan-jalan. Melihat respon isterinya, sang mantu (suami anaknya si Bapak) bereaksi juga: Wah boleh tuh, aku ikut deh. Akhirnya, sang mertua perempuan jadi ikut juga melihat semuanya sepakat untuk pergi.
Perjalanan ke Ciganea, ditempuh dalam waktu relatif cepat, lewat Cipularang minggu siang gak terlalu rame, sejam setengah kemudian sudah di depan Rumah Makan bu Haji Ciganea. Waduh ternyata gak bisa langsung duduk, karena antrian sudah lumayan banyak. Jadi lah mereka menunggu setengah jam untuk mendapat tempat duduk. Maklum laku sekali restoran yang terkenal dengan sambel dadak nya ini.
Maklum musim kemarau, ditambah Purwakarta memang lebih panas dari Bandung, makan sambil keringetan, seperti orang Indonesia pada umumnya, selesai setengah jam. Sudah ditunggu pelanggan lain yang ingin makan juga.
Sore-sore 4 jam sejak keberangkatan dari Bandung, mereka berempat sudah kembali berada di rumah. Turun dari mobil, sang anak perempuan bilang, enak juga ya tadi makan, sampai kenyang begini. Ibunya menjawab: apanya yang enak, makan aja harus ngabisin waktu empat jam dengan perjalanan, di panas yang berdebu pula. Aku gak menikmatinya. Respon ibu mertua ini ditimpali juga oleh sang mantu, iya mana agak macet lagi jalanan, banyak yang nyetir ugal-ugalan (maklum dia yang nyetir saat itu). Habis, kata anak perempuannya, aku kasihan sama Bapak. Ngajak makan, gak ada yang merespon. Padahal sih aku juga males keluar rumah. Hari panas berdebu kayak gini. Ternyata ketahuan bahwa si Bapak pun sebenarnya tidak terlalu berminat makan di luar, tapi karena dia pikir semua orang lagi bosan dan ingin menyenangkan istri, anak dan mantu nya dan dia menganggap bahwa ajakan makan adalah ajakan yang tepat maka, keluarlah ajakan tadi. Yang lain menyambut ajakan tadi juga berasumsi bahwa sang Bapak, dan sang anak perempuan, kepingin sekali pergi makan di lauar. Dan karena rasa sayang dan ingin menyenangkan pihak lain itu yang membuat mereka mau pergi.

Apa makna semua ini?

Pertama, niat baik tidak selalu menghasilkan kebaikan. Niat baik nya si Bapak, tidak menghasilkan kebaikan. Ada kata kata bijak yang mengatakan "road to hell pave with good intentions" .....
Jadi niat baik saja tidak cukup. Tentang hal ini saya sudah sering mengkritik suami yang mengatakan "niatku kan baik" meskipun hasilnya jelek, yang penting niatnya sudah baik. Menurut saya ada hal lain yang perlu diperhatikan untuk mencapai tujuan baik atau mewujudkan niat baik ini, yaitu cara. Niat baik kalau cara tidak baik, bisa jadi hasilnya malah busuk.

Kedua, jangan gunakan asumsi.
Asumsi bahwa orang memperhitungkan diri kita, asumsi bahwa orang lain tahu tugasnya, asumsi bahwa orang lain tahu batas, asumsi bahwa orang lain akan sebaik kita memperlakukan dia, asumsi bahwa orang lain akan jujur dengan ucapannya...asumsi bahwa pembimbing akan memberi tahu kesalahan, asumsi bahwa semua bisa dikerjakan dengan mudah, ....dan masih banyak lagi.
Saya berikan beberapa contoh kejadian yang menimpa seseorang akhir-akhir ini, berkaitan dengan asumsi.
Tiba-tiba rapat dibatalkan. Lho, mengapa? Kan sedang pada sibuk hari ini. Wah...padahal saya sudah menggeser acara supaya pada saat rapat kosong.
Ini keputusan yang didasarkan asumsi.

Contoh lain: Keluar dari bandara, kami (aku dan suamiku kembali ke tempat mobil diparkir). Lho kok mobil tidak ada di tempatnya. Aku belum pikun lah, untuk tidak mengenali tempat parkir di terminal 2. Setelah ditelpon ternyata, mobil dipindah oleh supir, dan dia nunggu di pintu keluar. Lho wong aku dan suamiku ambil jalan lain waktu keluar dari bandara menuju mobil, tidak ambil jalan semula. Ya...gak ketemu dong. Aku cuma bisa nyengir deh kalau sudah begitu, ya salah sendiri gak bilang dan berasumsi, supir akan ngerti kalau mindahin mobil itu akan lapor, harusnya kan kukasih tahu kalau tahu begitu. Kami memutuskan pergi dari bandara 5 menit sebelum jadwal take off nya anak kami ke Seoul. Di perjalanan, masih di lingkungan Cengkareng, anakku nelpon, ngabari mau boarding dan ngabari kalau semua HP gak akan bisa dipake di Seoul, karena sistemnya tidak compatible. Kecuali yang 3 G katanya.
Nah...ini akibat asumsi juga kan. Asumsinya, telkomsel bisa digunakan atau konek di mana saja, seperti iklannya.
Kata dia lagi, satu dari 3 temennya bawa 3 G, jadi dia akan sms aku sesampai di Seoul pinjem HP temennya. Lega juga rasanya masih ada komunikasi deh. Atau dia bisa sewa HP di sana. Padahal di sini dia sudah isi IM3 nya 200 ribu isinya. Maih dikasih catatan, kalau kurang kamu telpon ibu nanti diisi dari Bandung sini. Hehehehe.....
Pagi-pagi aku sudah ngitung nih, mestinya sudah sampai mereka di Seoul nih. Kok belum ada sms ya. Suamiku tanya, sudah ada kabar?
Gak lama kemudian ada telpon, nomornya aneh sekali. Eh dia ternyata ngabari bahwa sudah sampai di Seoul, pake kartu telepon. Soalnya semua HP, even 3G gak jalan di sana. Nah kan korban asumsi lagi.
Masih panjang sih sebetulnya cerita tentang asumsi dan pengambilan keputusan ini. Intinya, asumsi salah ya pengambilan keputusan salah juga lah.

Abilene paradox sendiri sebetulnya dikaitkan dengan masalah persepsi dan atribusi. Bagaimana kesalahan persepsi bisa terjadi? Karena (salah satunya) kita sering mengukur orang lain dengan diri kita. Di sini kepekaan perlu diasah. Nah kalau dikaitkan dengan konsep self monitoring, untuk mengatasi kesalahan persepsi akibat kita memproyeksikan diri kita pada orang lain, diperlukan kepekaan dalam "membaca" perasaan orang lain.

1 comment:

asrofi said...

menarik sekali bu artikelnya.

Di dalam bahasa Inggris kata "assume" sering di plesetkan menjadi singkatan dari, maaf, "making ass for u & me".