Sunday, July 13, 2008

Cerita Perjalanan 2: Kultur

Pengalaman saya ke Amerika tahun lalu yang saya ceritakan di bagian pertama, saya lanjutkan di bagian ini. Saya ceriterakan bagian dari perjalanan di sana dan pulang. Terutama berkaitan dengan perbedaan kultur yang saya amati.

Sebelumnya saya cukup minder juga, meskipun katanya orang Amerika sangat menghargai perbedaan kultur. Tapi ada juga beberapa kejadian yang kurang menyenangkan meskipun tidak banyak.

Sekali waktu keponakanku ngajak kami makan di restoran Meksiko. Ketika pesan sesuatu karena tidak jelas saya sempat bingung, dan salah satu "pelayan counter makanan" kelihatannya anak si empunya toko, menyembunyikan senyum atau ketawa kecil, entah apa maksudnya. Tapi di lain tempat saya tidak mengalami masalah. Naik bus menjelejahi kota, masuk ke mall demi mall. Meskipun mungkin mereka tidak begitu familiar dengan pronounciation ku tapi mereka cukup sabar melayani kita.
Ketika di Chicago, masuk museum, malah yang Negro (kebanyakan petugas securitynya Negro) yang lebih galak. Ketika cucuku (anak nya keponkanku) lari-lari, si penjaga security ini dengan tidak ramah mengatakan "sorry, we are not running here"...oh ok kataku. Soalnya aku juga gak ngerti kenapa dia ngomongnya ke aku, bukan ke ibunya.
Giliran pulang ke Indonesia, di pemeriksaan imigrasi, aku rada tertahan. Entah kenapa aku harus mengalami table in paling tidak begitulah kedengarannya. Jadi aku dan anakku harus mengikuti sebuah pemeriksaan yang cukup teliti, sampai ke isi tas. Mereka mencoba menyapukan sesuatu ke tas tanganku. Tapi akhirnya lepas juga. Koper yang tidak boleh dikunci dulu, sampai Indonesia tidak terkunci. Tapi syukur aman-aman saja, tidak ada yang hilang atau terbuka.
Yang seru di pesawat, biasanya stewardess Northwest ramah-ramah. Kali ini rada judes. Ketika aku minta minum, karena melihat dia membawa air, dia menjawab dengan judes. Minta aku bersabar dulu. Malah dia lari ke bagian belakang dulu dan lamaaa baru muncul lagi ngasih minum.
Kali ini aku sederet dengan orang Jepang. Kebetulan dia di bagian luar, aku dan anakku di bagian dalam. Kelihatannya dia cukup berpendidikan, tapi jarang ngomong, diam sekali. Kebetulan dapat tempat duduk dekat dengan dapu dan toilet. Ada sedikit ruang kosong. Yang rada aneh karena banyak orang China (kelihatannya begitu dari bicaranya) dan makanan yang disajikan mau tidakmau kelihatannya ada baconnya. Wah nyaris mag aku karena gak bisa makan. Orang-orang China ini rupanya tidak bisa diam duduk. Jadi kerjanya mondar mandir. Ngobrol dengan temannya dekat dapur. Kadang masuk dapur ambil minuman. Perjalanan Detroit - Narita memang panjang sekali, dan anehnya kita tidak merasakan penggantian hari, karena rasanya sore terus, sorenya panjang sekali. Mungkin dalam rangka menghindari jetlag ini mereka gak tidur malah jalan-jalan dan ngobrol di gang satu sama lain. Sampai kadang-kdanag diingatkan untuk tidak ribut.
Bukan hanya satu dua yang begitu. Jadi gang di peswat itu cukup rame. Aku mengerti mengapa kemudian stewardess nya jadi kurang ramah. Pengalaman mereka rupanya, penerbangan Detroit - Narita dipenuhi orang China, Korea yang transit di Narita. Dan ini membuat mereka sering kesal, kedengaran dari obrolan sesama stewardess. Akibatnya, karena mungkin aku juga dikira orang Asia jadi sama saja, dijudesin juga. Padahal stewardessnya India.
Kalau dilihat, memang mirip orang Indonesia, mereka bergerombol, ngobrol ribut, tidak tertib, bahkan tidak ngantri dengan tertib, main serobot aja.
Sampai Narita ada cerita seru lagi, petugas bandara berusaha dengan ramah memeriksa kita, meskipun kadanag mereka juga gak ngerti. Sekali lagi aku kena pemeriksaaan. Segera aku tahu mungkin jarum hakken ku yang akan jadi masalah. Segera kukeluarkan. Ini kali yang jadi masalah. Ya dia bilang. Trus dia tanya, buat apa sih jarum itu. Aku bilang "it is crochetting needle" Aku pikir dia bakal ngarti, soalnya kan Jepang salah satu penghasil buku-buku crochetting yang terkenal, misalnya Ondori. Eh trus dia ketawa, sambil gak negrti. Tapi yang penting saya lolos.
Perjalanan Narita-Singapur dilakukan malam hari, sampai di Singapur jam 2 pagi waktusingapur. Bandara sepiiiii....cari tempat mandi rada serem juga. orang Malaysia atau mungkin juga Philipina petugsa pembersih toilet yang menutup toilet dengan alasan lagi dibersihkan. Rada sebel juga. Mungkin dikira aku TKW. Ehm...kalau sudah sampai sini aku suka serba salah, tidak mau dianggap TKW di negeri orang, sama saja dengan tidak menghargai bangsa sendiri. Tapi sebel juga dianggap begitu. Jadi ketika aku mencoba konfirmasi penerbangan ke Jakarta, tanggapan ground crew nya nyebelin banget. Meskipun aku mencoba memahami, bahwa kultur orang Singapur yang serba lempeng, tak urung sedih dan sebel juga. Anehnya, ketika kuperlihatkan kalau aku tidak suka diperlakukan seperti itu, dan aku ikuti aturan yang ada, dan ternyata memang namaku ada di manifest, dia minta maaf juga. Jadi selalu ada perbedaan sikap terhadap segala sesuatu. Di sini barangkali yang disebut dengan culture competency itu diperlukan. Fleksibilitas, kelapangan hati, menghadapi perbedaan sikap dan perilaku orang lain yang berbeda budaya ini yang diperlukan ketika berada di negeri orang.

Lain padang lain belalang.

Friday, April 18, 2008

Sikap Positif Dosen

Apa sikap positif yang dimaksud disini adalah sikap yang ditunjukkan oleh perilaku sesorang yang menyenangkan, bersemangat, misalnya gembira, semangat, enerjik. Apa yang menarik dari sikap positif seseorang, sampai menjadi bahan tulisan ini?
Perilaku positif seseorang biasanya mendorong respon positif juga pada orang lain, terutama pada orang dengan posisi yang berhubungan dengan orang banyak. Tulisan diinspirasi oleh seorang kawan saya ketika memberikan kuliah tamu di kelas Perilaku Organisasi dan Manajemen SDM, untuk topik Kepemimpinan. Minggu ini, saya mengundang teman saya yang eksekutif di sebuah perusahaan yang bergerak di bidang finansial.

Bagaimana cara dia mengajar, adalah hal yang menarik saya amati. Setiap orang memiliki gaya tersendiri dalam mengajar. Itu pasti. Meskipun hanya tiga sesi kali satu setengah jam, perkenalan dengan mahasiswa tetap dia lakukan, dan itu bukan basa basi. Dia membuat catatan, mengajukan pertanyaan tambahan kalau ada pernyataan yang menarik dari mahasiswa, memberi komentar. Semuanya dilakukan dengan penuh perhatian dan dikaitkan dengan materi kuliah yang ingin disampaikan. Misalnya ketika salah seorang mahasiswa menyampaikan cita-citanya ingin membuka usaha "kalau punya modal" dia langsung kasih komentar seperti ini: kalau ingin usaha jangan menunggu punya modal, itu sikap yang tidak tepat, karena sekarang ini di dunia sedang kelebihan kapital lebih dari sekian banyak, sambil menyebutkan jumlah dan sumber informasi yang dia miliki" Jadi kalau ingin usaha, yang penting punya model bisnis yang baik, yang menarik pemodal untuk mau memberi modal.
Di kesempatan lain dia memberi pujian, ketika salah satu mahasiswa mengatakan perjalanan hidupnya yang pindah-pindah dari satu usaha, dan kemudian memutuskan untuk ambil MBA sambil tetap usaha; komentarnya "anda akan sukses dalam usaha, karena anda memiliki internal locus yang akan mendorong anda untuk selalu mencari sesuatu dan menjadikan itu tujuan anda berikutnya, tanpa menunggu dorongan orang lain dan itu sifat penting bagi seorang leader" komentarnya. Kemudian dia berpaling ke saya, bu Nur tolong kasih tambahan nilai buat Dea, untuk bonus memberi inspirasi pada teman-temannya. Jadi sepanjang perkenalan dengan mahasiswa banyak hal penting yang dicuplik dari buku, disesuaikan dengan komentar yang ingin disampaikannya, disesuaikan dengan si mahasiswa yang sedang memperkenalkan diri. Intinya konektivitas dengan mahasiswa terjaga dan dengan sikap positif, memberi dorongan positif, memberi pujian, menunjukkan ide yang berbeda pada mahasiswa dan mendorong mahasiswa untuk berani tampil sesuai dengan ide yang dimilikinya.
Dari acara perkenalan ini saya mengamati dua hal, dosen menularkan sikap optimis dan sikap gembira pada mahasiswa, mahasiswa yang memang memiliki minat yang sejalan, berada di frekuensi yang sama, merespon dengan baik, dan ini menulari mahasiswa yang lain. Dari seluruh kelas yang memiliki perhatian biasa-biasa saja atau tidak mempunyai jawaban yang punya semangat atau ambisi hanya seperempat kelas. Kalau diamati lebih dalam, hal ini bersumber dari motivasi mereka melanjutkan studi lebih banyak didorong keinginan orang tua atau karena mengisi waktu menunggu pekerjaan yang lebih baik. Dikaitkan dengan rata-rata keinginannya adalah mencari kerja. Rata-rata jawabannya, setelah MBA mau bekerja di BUMN atau perusahaan terkenal. Yang kedua, mahasiswa merespon dosennya dengan semangat yang sama ketika mereka merasa "nyambung".
Soal nyambung, saya jadi ingat komentar Paula Abdul ketika mengomentari salah satu Carly Smithson yang menyanyi tapi dengan tatapan mata yang tidak tertuju pada penonton. Masalahnya "you are not connected with your audience". Dan salah satu cara connected ini adalah melihat muka audience, membuat komentar yang "ngait" dengan situasi atau kata-kata audience, intinya "communicating" atau interaksi. Jika konektivitas ini dilakukan dengan positif, tentu (secara normal) respon juga positif.

Thursday, February 21, 2008

Kenaikan Pangkat yang Alot


 

Rapat Promosi hari ini berjalan tersendat dan lama, dalam pengambilan keputusan satu kandidat. Diskusi berkaitan dengan Munadi sudah berjalan lebih dari setengah jam. Biasanya rapat seperti ini dimulai dengan penjelasan salah satu anggota komisi yang sudah memeriksa berkas persyaratan kenaikan pangkat, dilanjutkan dengan penjelasan atasan kandidat yang akan member gambaran bagaimana sepak terjan kandidat dan bagaimana potensi nya di masa datang. Dilanjutkan dengan dengar pendapat dari anggota komisi yang berada pada satu Divisi dengan kandidat, atau anggota komisi yang mengenal kandidat dengan baik. Terahir baru diputuskan.

Pada saat itu hadir mantan atasan Munadi di Divisi Teknik, sebagai anggota komisi, tiga anggota komisi yang berasal dari Divisi Teknik, dan satu anggota komisi dari Divisi Umum, tempat Munadi bertugas tiga tahun terakhir ini, dan empat anggota lainnya. Hadir juga Manajer HRD LIPI. Mantan atasan Munadi menyampaikan keberatan yang samar tentang kenaikan jabatan Munadi. Catatan buruk tentang dirinya dikemukakan kembali dalam rapat ini, secara hati-hati. Layakkah Munadi memperoleh kenaikan jabatan saat ini? Sudahkah atasan barunya melakukan pembinaan? Sudah berubahkah orang ini? Jika dia dinaikkan jabatannya, mampukah dia menjalankan fungsinya dengan baik?

Berkas kenaikan pangkat Munadi masuk ke komisi promosi ini setelah melalui pemeriksaan berlapis lapis. Komisi menerima berkas ini dari panitia lain pada tahap proses ke dua dari seluruh urutan proses kenaikan pangkat di instansi Lembaga Penelitian Indonesia. Salah satu anggota komisi akan memeriksa berkasnya secara detil, supaya tidak ada yang salah atau terlewat. Marni, salah satu anggota komisi menyediakan diri untuk memeriksa berkas kenaikan pangkat ini. Di sebelahnya duduk Marko, anggota komisi promosi lain yang sudah lebih lama duduk di komisi ini.

Munadi lulus program doctor di Belanda tahun 1995, di bidang Teknik Sipil di sebuah perguruan tinggi, dan memiliki keahlian di bidang yang berkaitan dengan air. Data-data yang berkaitan dengan kinerjanya cukup lengkap. Pada waktu sidang promosi pertama, ketika Marni memeriksa berkas kenaikan pangkatnya, pertanyaan yang diajukan oleh anggota komisi promosi pegawai agak tidak biasa. Bahkan Ray berkomentar seperti ini:" Wah bakal ribut lagi nih kayaknya nanti" . Teman-temannya yang berasal dari Divisi lain tidak begitu menangkap makna komentar ini. Marni mengira komentar ini berkaitan dengan temperamen orangnya yang suka bikin ribut.

Pemeriksaan awal syarat promosi jabatan dilakukan oleh Marni. Secara admininistratif sesuai dengan persyaratan promosi. Salah satu anggota yang pernah berada satu Divisi dengan Munadi mengajukan pertanyaan "Apakah karya-karya nya sesuai dengan bidangnya?" Apakah karyanya mendukung kinerja dan potensinya di masa datang? Marni melakukan pengecekan sekali lagi, dibantu oleh Marko. Memastikan bahwa karya tulis, pemikiran-pemikirannya sesuai dengan pekerjaan nya saat ini, mendukung kinerjanya di Divisi Umum.

Pada saat pemeriksaan pertama, tidak kelihatan jelas ada masalah. Rapat akhirnya memutuskan untuk melanjutkan proses dengan proses kedua yaitu meminta penjelasan dan dukungan dari atasan Munadi saat ini. Seminggu kemudian, sidang promosi kembali dilaksanakan. Hari itu ada 2 orang yang diajukan ke rapat dari dua Divisi yang berbeda. Pembicaraan pertama dilakukan untuk membahas Munadi. Jam 2 siang, atasan Munadi sudah datang di tempat rapat. Ketua komisi promosi membuka pembicaraan, dan meminta Marni menyampaikan catatan hasil pemeriksaan persyaratan kenaikan jabatan Munadi, yang sudah diselesaikannya minggu sebelumnya. Dengan lirih, Marni menyampaikan hasil pemeriksaannya: "Hasil pemeriksaan terhadap berbagai persyaratan, baik periode waktu, karya-karya tulis, kinerja yang dicapai selama kurun waktu yang ditentukan, tidak ada yang perlu dipermasalahkan". Selama member penjelasan, Marni merasa aneh melihat rekan rekannya di Komisi ini yang kebetulan duduk berseberangan dengannya, seperti tidak mendengarkannya. Berbeda dari biasanya. Setelah mendengarkan penjelasan Marni, ketua komisi mempersilahkan atasan Munadi untuk memberi penjelasan tentang Munadi.

Atasan Munadi, Nanang, mulai dengan menceritakan siapa Munadi, bagaimana dia bergabung dengan Divisi Umum yang dipimpinnya saat ini.

"Tahun 1995 setelah lepas dari Divisi Teknik dan masuk Divisi Umum, Munadi diminta oleh Departemen Pertanian untuk menjadi salah satu staf DepTan sesuai dengan kepakarannya saat ini. Hal ini adalah hal yang wajar dilakukan, memperbantukan seseorang dari satu instansi ke instansi lain di pemerintahan. Begitu juga dengan Munadi, setelah lulus dari sebuah kursus regular singkat yang berjalan selama tiga bulan dan cukup bergengsi di instansi pemerintahan, dengan prestasi yang sangat baik, dia diminta membantu Deptan. Tetapi tahun 1995 ini, Munadi diminta promosi dulu ke pangkat setingkat Grade 12 (makin tinggi grade makin baik) supaya layak ditempatkan di jabatan Staf Ahli di Bidang Pengairan. Untuk itu Munadi mulai mengurus kenaikan pangkatnya. Proses kenaikan pangkat di instansi pemerintah, bukan proses singkat, karena pemeriksaannya cukup panjang. (Lihat Lampiran). Karena diburu waktu, Munadi melakukan suatu kesalahan yang dipandang tidak layak oleh instansi ini, yaitu mencari informasi tentang kenaikan pangkatnya ke unit yang mengurus kenaikan pangkat setiap karyawan di instansi ini. Karena dianggap tidak layak, Munadi mendapat hukuman penangguhan kenaikan pangkatnya selama 6 bulan."

"Enam bulan kemudian, kenaikan pangkatnya diluluskan. Kemudian Munadi menjadi staf ahli di Deptan".

Tidak lama kemudian, Dimas, Manajer HRD LPI memberi penjelesan tambahan dengan hati-hati: "Betul, dulu kenaikan pangkatnya ditahan, karena Munadi mendatangi langsung tim penilai persyaratan kenaikan pangkat (TPPKP). Bahkan Munadi bertanya, siapa yang mengevaluasi kenaikan pangkatnya, serta berkolusi dengan petugas administrasi di TPPKP yang mengurusi kenaikan pangkat". Manajer tidak melanjutkan apa yang dimaksud dengan berkolusi dengan salah satu petugas bagian HRD ini.

"Dan itu bukan satu-satunya yang dia lakukan. Sudah sering dia lakukan hal-hal yang tidak layak dilakukan" kata Ray dengan berapi-api.

Pada kesempatan ini Ketua Sidang minta penjelasan atau pendapat anggota sidang yang mengenal dan pernah bekerja bersama Munadi. Pertama-tama yang memberi penjelasan adalah Ray. Cerita Ray adalah sbb:

"Jika yang dijadikan criteria meluluskan Munadi ke pangkat G 12 adalah hanya nilai karya-karyanya, maka dia adalah orang yang paling pantas mendapat kenaikan pangkat saat ini. Saya mendukungnya seratus prosen. Munadi orangnya sangat jenius, rajin, dan gesit. Dalam 3 atau 4 jam Munadi bisa menghasilkan sebuah gagasan dengan baik, kalau diminta."

"Saya akui, dia sangat, sangat jenius. Betul, katanya, Munadi sangat jenius. Begitu juga waktu mahasiswanya" Tapi tindakan tidak pantas ini (menghubungi tim penilai persyaratak kenaikan pankat) bukan tindakan tak pantas satu-satunya yang dilakukan Munadi". Ray berhenti sebentar, memilih kata kata yang ingin disampaikannya. "Kami, koleganya sudah sering menjadi "pemadam kebakaran" akibat ulah dia. Banyak hal dia lakukan. Orangnya memang gesit sekali. Tapi, kata Ray, menekankan kata tapi tadi, ya itu tadi seringkali kami seluruh kolega di Divisi Teknik, sibuk memperbaiki akibat ulah dia atau menahan dampak yang lebih besar akibat ulah dia.

Itu sebabnya kami "menyerahkan" atau "mengembalikan" Munadi kepada Manajer HRD dengan usul untuk diberhentikan". Ray menjelaskan lebih jauh, dengan emosi yang ditahan, karena dia merasa harus menahan diri untuk tidak menjadi menjelek-jelekkan pribadi orang.

Sambil mendengarkan berbagai komentar ini, Ketua Sidang berusaha menayangkan persyaratan untuk kenaikan pangkat dari laptop yang ada di depannya. Di layar ditayangkan item-item persyaratannya sbb:

  • Memiliki integritas
  • Menjalankan tugas dengan baik, dilihat dari kinerjanya
  • Menjalankan kewajiban dengan patuh, dan komitmen penuh
  • Memiliki tatakrama yang sesuai dengan pangkat yang dipegangnya
  • Memiliki kemampuan yang sesuai dengan pangkat yang akan disandangnya

Nanang menyambung kembali:"Sebenarnya keberadaan Munadi di Divisinya, ketika divisi Umum masih dipegang Tomi, bukan atas dasar permintaan Divisi Umum, tetapi di"drop" dari atas. Jadi ibaratnya kami dapat jackpot. Itu istilah jika kita mendapat sesuatu yang tidak diinginkan"

Dimas meluruskan: "Divisi Umum dibentuk satu paket dengan pemindahan Munadi. Dia adalah salah satu anggota tim yang membidani Divisi Umum"

Nanang melanjutkan kembali penjelasannya: "sebetulnya pada proses kenaikan pangkat di Divisi Umum, kami sudah membicarakan semuanya. Bahkan supervisor Munadi langsung menyetujui. Tapi, karena kami tahu ada sejarah tidak lurus, maka kami menanyakan ke penilai kinerja Munadi di HRD, jawabannya "no comment". Saya tidak bias menangkap artinya. Kemudian saya berusahan menghubungi komisi kenaikan pangkat Di Divisi Teknik. Jawabannya: silahkan saja. Saya semakin bingung".

Baik, kata Ketua Sidang, apakah ada yang masih mau berkomentar? Kelihatannya sulit untuk dilanjutkan ke proses berikutnya. Bukan berarti bahwa kalau sekali seseorang salah, maka dia harus dihukum sepanjang masa. Tetapi mungkin kita perlu memaafkan atau mungkin ybs sudah berubah yang berarti proses pembinaan orang ini sudah berjalan dengan baik sehingga mampu mengubah pak Munadi." Kalau begitu siding untuk Munadi kita tutup saja sudah menghabiskan waktu cukup panjang, dan kita masih punya satu orang lagi yang harus dibahas" katanya. Kasihan pak Nawi, ketua Divisi Perencanaan yang sudah menunggu lama untuk sidang kenaikan pangkat ibu Widi", lanjut ketua Sidang.

Tiba-tiba pak Wawan unjuk tangan. Pak Wawan pernah satu Divisi dengan Munadi, orangnya santun, penuh pertimbangan, tapi tegas. "Saya ingin mengajukan pendapat" Secara halus saya ingin mengatakan bahwa kalau Munadi belum berubah, maka Munadi tidak layak untuk naik pangkat" katanya

Mendengar kata "tidak layak" yang lain tertawa, karena menurut yang penolakannya sudah tegas sekali. Wawan kelihatan jadi merasa tidak enak, karenanya kemudian member penjelasan yang lebih jauh:" Saya akan abstain saja, karena saya tidak memiliki informasi yang cukup tentang dia, meskipun saya sering sms an dengan dia. Saya juga pernah bilang di sms ke Munadi. Jika Anda sabar, mungkin Anda bias jadi professor" katanya. "Maksud saya sabar, adalah kalau dia mengendalikan diri agar bersikap lebih baik, lebih bertanggungjawab", lanjut Wawan. "Saya takut kita salah mengambil keputusan. Kalau komisi ini salah memutuskan padahal saya adalah bagian dari komisi ini, maka saya ikut bertanggungjawab atas kesalahan ini".

"Lho gak bisa abstain dong", kata Kiki, "masa anggota komisi tidak memiliki sikap".

"Begini", kata Wawan, "saya ragu memutuskan". Kalau dia sudah berubah dan saya tidak sepakat dengan kenaikan pangkatnya, maka saya salah. Tapi kalau ternyata dia belum berubah dan saya menyetujui kenaikan pangkatnya. Salah juga kan. Karenanya, jika pengambilan keputusan tentang Munadi akan diambil, saya pilih abstain saja. Tanggungjawabnya berat untuk mengambil keputusan.

Akhirnya ketua Sidang mengusulkan jalan keluar untuk menangguhkan diskusi tentang Munadi ke minggu depan. Ray menyarankan, ketua Sidang bertanya pada beberapa orang yang memiliki informasi yang banyak dan bisa dipercaya, untuk kemudian diputuskan.

Sementara itu Manajer HRD juga tidak memiliki kejelasan informasi apakah Munadi masih di Jakarta di Deptan atau sudah balik lagi ke LIPI. Katanya sudah balik, tapi kok gak kelihatan di Divisinya. Sehingga kalau betul dia sudah kembali dari Deptan seperti rumor yang beredar, mengapa dia tidak bertugas lagi di Divisi Umum.

"Apa saya perlu menelpon Munadi untuk memastikan bahwa dia sudah tidak di Deptan lagi?", kata Nanang.

Rapat memutuskan untuk menelpon Munadi di kesempatan lain.

Thursday, November 1, 2007

Cerita dari perjalanan 1

Orang desa saba Amerika. Begitulah barangkali julukan yang akan diberikan orang pada saya. Ini adalah perjalanan pertama saya ke Amerika. Jika perjalanan pergi yang saya rasakan lancar-lancar saja, mungkin karena saya sudah siap menerima kesulitan perjalanan yang sudah saya dengar dari berbagai orang. Sejak sulitnya memperoleh visa (dan ternyata tidak jadi masalah buat saya), petugas imigrasi baik di Singapur maupun di Amerika, yang juga lancar-lancar saja.

Bagaimana selama di sana? Yang mengesankan buat saya adalah rumah-rumah yang tidak berpagar pembatas. Tidak khawatir dimasuki orang lain?
Dulu saya mengartikan high contact culture dan low contact culture saya sering terbalik. High contact culture artinya budaya dimana kontak fisik dengan orang lain dianggap hal biasa, misalnya berdiri berdekatan, salaman, pelukan atau ciuman pipi ketika bertemu adalah hal biasa. Bangsa Amerika, cenderung low contact, meskipun ada yang mengatakan in between high dan low contact culture. Itu sebabnya saya heran, kalau mereka tidak terbiasa kontak, mengapa tidak ada pagar rumah yang akan membatasi interaksi dirinya dengan orang lain. Rupanya, karena yakin bahwa orang lain tidak akan mendekati dirinya, maka pagar rumah menjadi tidak penting lagi. Karena yakin bahwa orang lain akan menghormati wilayahnya, maka pagar rumah dianggap tidak terlalu penting lagi. Indonesia termasuk high contact atau low contact? Nah, tergantung. Kalau di kota besar cipika cipiki sudah jadi kebiasaan, baik antar wanita, wanita dengan pria atau pria dengan pria. Beda dengan di daerah atau di kota kecil. Dulu saya merasa bahwa Indonesia termasuk low contact culture, tapi, rumah di Indonesia selalu berpagar. Barangkali memang gak ada hubungan antara high contact culture atau low contact culture dengan kebiasaan rumah berpagar. Kesadaran orang akan hak orang lain lah yang kelihatannya menentukan, keberadaan pagar ini.
Hal berikutnya yang berkesan bagi saya adalah transportasi yang digunakan mereka, jaringan bus yang menghubungan transfer point dengan transfer point lainnya. Saya mengkhususkan waktu sehari minta diantar anak saya mengelilingi kota Lansing dengan bus. Barangkali menggelikan bagi orang lain, tapi saya keukeuh minta ditemeni dia. Masuk bus, masukkan uang sedollar (anak saya pake kartu langganan), sambil bilang "may I have transfer please", maka si supir bus akan memberikan karcis transfer yang berlaku dua kali naik bus lagi atau dua jam sejak karcis diprint. Bagian depan disediakan untuk handicapped person atau manula. Hebatnya, mobil akan direndahkan jika ada orang berkusi roda naik atau turun bus, untuk memudahkan mereka. Supir juga akan membantu mereka untuk duduk dengan aman di kursi rodanya di dalam mobil. Padahal mereka punya jadwal untuk sampai di tiap bus stop atau point transfer.
Yang mengesankan berikutnya, adalah yang berkaitan dengan pelayanan baik waktu belanja, di restoran atau di pesawat. Pegawai toko akan menyapa kita dengan how are you atau have a nice day ketika kita selesai bayar. Saya coba bayangkan di Indonesia. Katanya orang Indonesia itu ramah. Menurut saya tidak sepenuhnya benar. Kalau kita mengartikan senyumnya orang Indonesia ramah, mungkin benar, tapi ramah yang tidak mengandung empathy, hanya fisik saja. Ada benarnya pendapat Rick Moore yang mengatakan, orang Indonesia itu murah senyum, tapi ketika dia sebagai patron apartemen minta bantuan petugas apartemen karena ada bagian yang tidak berfungsi di apartemennya, petugas tidak bener bener mencarikan jalan keluar untuk Rick.
Service yang mereka lakukan betul-betul menunjukkan empathy pada konsumen. Di pesawat misalnya, mereka bantu kita mencarikan tempat untuk menyimpan cabin bag, menawarkan minuman, dsb. Atau di restoran, waitres atau waiter akan nanya, apakah semua sudah sesuai dengan keinginan, apakah tidak ada masalah, adakah yang masih diperlukan, ...
Di Indonesia, sulit meniru hal yang sama. Mengapa? Menurut saya feodalisme yang masih berlaku di bangsa ini salah satu penyebabnya. Pekerjaan pelayanan dianggap pekerjaan rendah, maka berada pada posisi itu sebetulnya berada pada posisi tidak enak. Hanya karena kebutuhan perutlah yang menyebabkan orang menjalani pekerjaan tersebut, maka keterpaksaan lah yang ada. Tidak heran kalau teman saya berkomentar begini: "tersenyum adalah bagian dari job descriptionnya pramugari". Waaahh...bisa gak tulus dong, karena dorongannya eksternal bukan internal. Kembali lagi persoalannya adalah arti manusia, bagi manusia lainnya.
Baru saja saya mendengar "sultan Jogya" mengatakan kata yang sama dengan salah satu judul blog saya "memanusiakan manusia".
Cerita sambungannya, saya akan ceritakan di bagian kultur. Have a nice day. :=)

Memanusiakan Manusia?

Beberapa hari ini saya merasa punya utang pada seseorang di kantor, seorang petugas tingkat teknisi. Pasalnya, saya belum sempat mengucapkan salam lebaran, mohon maaf lahir bathin. Karena biasanya setiap lewat tempatnya bertugas, saya selalu menyapa dia. Sibuk, itulah alasan nya.

Pulang dari nengok anak saya di Michigan, ada banyak pengalaman yang saya ambil selama perjalanan. Pertama tentang petugas imigrasi yang saya ceritakan di bagian lain blog ini, bulan lalu. Pengalaman ini saya ceritakan di kelas, waktu mahasiswa saya nagih oleh-oleh. Oleh-olehnya cerita. Karena cerita itu, saya jadi teringat kejadian yang serupa. Saya juga ceritakan kejadian yang lain yang saya alami beberapa tahun yang lalu, ketika saya mengerjakan proyek di sebuah BUMN penting. Saking pentingnya, BUMN ini merasa perlu melakukan penjagaan yang ketat. Setiap tamu, visitor harus punya kartu visitor. Kalau kita akan menjadi visitor cukup lama kita juga wajib menjalani screening. Proses ini merupakan proses di mana kita harus mendaftar di sekuriti, mengikuti tes tertulis, yang isinya pertanyaan berkaitan dengan ideologi. Seperti ujian P4 dan PPKN deh.
Teman saya yang berangkat sebelumnya waktu itu marah-marah karena harus ikut proses ini. Selain itu kekesalan dia juga bertambah karena setiap keluar masuk instalasi/plant area dia mesti diperiksa sekuriti. Termasuk kalau harus keluar kompleks mau ke pasar atau mau makan seafood yang sedap itu, malam malam. Ketika tahu saya mau ke sana juga, dia nakut-nakutin saya, "rasain deh nanti" katanya.
Pada saatnya tiba, saya malah lebih siap. It is ok, kalau saya harus melewati hal tersebut, rileks aja. Jadi, ketika harus ikut screening, karena saya lebih bersikap pasrah, saya lebih santai, bahkan bisa ngobrol dengan santai dengan petugasnya. Walhasil saya bisa menjalani semuanya dalam waktu yang singkat. Ketika keluar masuk kompleks saya juga sudah siap. Beberapa meter sebelum pos penjagaan, saya sudah buka kaca jendela (aturannya begitu), saya ucapkan salam pada penjaga dengan santai. "Malam pak". Beres, lancar. Dia tengok dikit. Pass.
Ketika masuk plant site nih besoknya, lengkap dengan rombongan para asisten dan rekan lainnya, saya dikerjain mereka. Jalan duluan Bu, katanya. OK, saya bilang. Saya maju duluan bareng satu asisten. Dengan ramah dan respek pada petugas, saya ucapkan "selamat pagi pak", lewat, tanpa pemeriksaan barang bawaan dan tas. Semua surprise. Lho kok kali ini gak diperiksa, biasanya kami selalu kena periksa. Sejak itu saya dijuluki mayoret, karena keluar masuk plant site itu selalu di depan.
Dua kejadian ini yang membuat saya merenung dan menceriterakan nya kembali kepada mahasiswa saya. Barangkali, ini barangkali ya, karena saya memandang mereka (petugas sekuriti) juga manusia dan saya memperlakukan mereka seperti manusia lainnya, yang sekali lagi saya hargai mereka karena sebetulnya mereka menjalankan tugas yang seharusnya mereka lakukan. Menjaga keselamatan negera atau instalasi yang harus mereka jaga. Dan yang kedua, mungkin juga karena saya sendiri sudah pasrah. Ketika dalam seminggu saya di sana, saya sekali waktu kena juga diperiksa, tidak ada masalah (maksudnya diperiksa itu tas dan segala yang kita bawa harus diperlihatkan pada petugas, termasuk isi tas tangan kita). Perasaan saya ringan-ringan saja.
Dari beberapa kejadian ini, kemudian saya teringat istilah yang biasa didengungkan teman saya, "memanusiakan manusia". Arti dari sepenggal kalimat ini sangat mendalam. Dan saya merasa saya belum sanggup menjalankannya. Itu sebabnya saya merasa berhutang, seperti yang saya ceritakan di awal.
Semoga Tuhan selalu mengingatkan saya, untuk menghargai keberadaan manusia lain. Amin.

Tuesday, October 9, 2007

Imigrasi

Apa sebetulnya tugas pegawai imigrasi di bandara? Pertanyaan itu menjadi sesuatu yang membayangi saya selama perjalanan ke Michigan, menengok anak dan ponakan lebaran ini.
Kesan selama ini yang saya tentang petugas imigrasi dengar selalu "menyeramkan". Di Indonesia atau di Amerika, sama menyeramkannya.

Pertama kali saya berhubungan dengan petugas imigrasi adalah ketika ke singapur tahun 2006. Mukanya petugas imigrasi sedingin es di kulkas (maaf ya bapak/ibu). Wah, kupasang hati lapang dengan pemikiran "they are doing their job" "they do what they have to do" (apa memang harus dingin ya) . Sebetulnya ini cuma taktik untuk afirmasi diri untuk lebih pasrah menghadapi situasi apapun yang bakal dihadapi. Smile....itu penting...no matter how dinginnya mereka.
Bolak dan balik lagi ke Indonesia aman aman saja. Bahkan saking jujurnya aku sudah siapin declare barang yang ku bawa dari Singapur. Dan malah ketinggalan entah di mana. Soalnya aku bilang gini sama anakku, andaikata mereka ingin ambil barang ini silahkan saja, ini kan cuma kacang dan buah buahan kering dan satu CD All the president man yang rencananya aku akan jadikan kasus di kelasku.

Perjalanan ke dua adalah minggu lalu. Kali ini kami cuma berdua, aku dan anakku. Imigrasi Indonesia? Nothing change, sami mawon, masih sedingin kulkas. Kami nginep di ambassador hotel transit di singapur. Malas keluar masuk karena jam 4 sore landing dan jam 4 pagi harus sudah check in di bandara. Karena gak bisa tidur akhirnya jam 2 kami memutuskan check out dari hotel dan keliling keliling di bandara. Minum kopi, sarapan (memang sudah diniatkan gak puasa, soalnya kemarin lumayan pusing puasa dalam perjalanan),. Ketika waktunya check in di D kami diperiksa oleh petugas imigrasi sepertinya orang Malaysia. Melihat saya dia langsung nebak Indonesia, padahal aku sudah siap berbahasa Inggris. Sopan, ramah, tidak ada prejudice, pertanyaan semua diajukan dengan konteks "saya ingin membantu kamu". Kalau ada sesuatu yang perlu aku ketahui katakan padaku sekarang juga. Kamu ngepak sendiri barang? ada orang lain yang bantu? bawa barang seperti ini? ...dst dst. Kebetulan aku bawa hak pen. Aku tanya, apakah barang seperti ini boleh kubawa? setelah diamatinya dia bilang menurutku boleh dibawa. tapi sebaiknya tunjukkan lagi di gate nanti. Kalau mereka bilang gak boleh ya serahkan saja, katanya. OK fair enough kupikir.
Di gate D44 yang mereiksa India, tegas, not too cold, hehehe...aku lolos juga dengan barang tadi. Jadi baik baik saja ternyata.

Seetelah 17 jam lebih , setalah arus lari-lari di Narita karena hampir ketinggalan pesawat sambungan ke Detroit, kami sampai di Detroit,. Petugas imigrasinya cakep, berseragam gagah, biru tua, seputar pinggang penuh dengan berbagai gauge, tapi tetap ramah.
Pertanyaannya cuma: ngapain ke sini, kapan terakhir ke sini, pekerjaan kamu apa? berapa lama akan ada di sini? anakmu ngapain di sini? semua dia ajukan dengan ramah. Sempat berkelakar ketika kubilang anakku di Lansing Community College' dia bilang that is great, as long as not MSU. Menghibur, karena aku yakin MSU adalah sekolah yang reputable di dunia ini.

Nah step berikutnya periksa lagi form declare yang dibawa . Ini juga lolos dengan baik. terakhir diperiksa bawaan.
Kami sempat salah jalur, sambil nunggu, kau baca valuenya mereka. Bukan main, memang dengan baca itu rasanya semua akan mencoba meningkatkan diri ke arah sana, jadi semacam self fulfilling prophecy bagi para petugas ini. Jadi kebanggan kalau mereka bisa memenuhi semuanya.
Dengan ramah si petugas mengatakan kamu salah jalur, dan segera mengantar kami ke jalur yang smestinya kami ikuti. Diantar,....wow...bukan main. Inilah service yang benar benar service. Di pemeriksaan isi koper memang mereka teliti. Tapi mreka hanya menyisihkan koper yang menurut scanning mereka ada sesuatu yang perlu dicurigai. Meskipun mereka masih salah identifikasi. Diidentifikasi di koper anakku ada sesuatu. Setelah dibongkar, ternyata gak ada apa-apa. Mereka berusaha menutup koper itu lagi meskipun dengan susah.

Lantas kenapa di Indonesia gak bisa dilakukan seperti ini? Mengapa????????
Apakah semua perlu dicurigai kriminal, penyelundup?

Sunday, September 30, 2007

Ujian

Buat teman teman di DMB2 tercinta.

Renungan setelah ujian tertulis dan tertutup MRBL.

Saya jadi malu hati ketika teman saya bilang gini. Entah ditujukan pada siapa. Puasa-puasa gini ujian kok nengok kiri kanan, apa gak batal?
Wah,...... saya langsung introspeksi. .......Apakah saya tadi tengok kiri kanan?.......Hmmmm....... Ya nengok sih. Kalau enggak kan pegel nunduk terus atau lurus terus...hehehe.
Ya...gimana gak langsung introspeksi aku kan dosen, kalau aku juga melakukan hal yang sama yang biasa dilakukan murid muridku, apa kata dunia............?
Biar saya yang menjawab pertanyaan tadi pada Yang Maha Kuasa, yang sudah tidak perlu lagi jawaban itu, karena Beliau sendiri sudah Maha Tahu. Terimakasih untuk peringatannya. Semoga Allah senantiasa menjaga kita dari perbuatan yang dilarangnya. Amien. Semoga kita bisa lulus dengan baik dan lurus pula. Amien.