Thursday, November 1, 2007

Memanusiakan Manusia?

Beberapa hari ini saya merasa punya utang pada seseorang di kantor, seorang petugas tingkat teknisi. Pasalnya, saya belum sempat mengucapkan salam lebaran, mohon maaf lahir bathin. Karena biasanya setiap lewat tempatnya bertugas, saya selalu menyapa dia. Sibuk, itulah alasan nya.

Pulang dari nengok anak saya di Michigan, ada banyak pengalaman yang saya ambil selama perjalanan. Pertama tentang petugas imigrasi yang saya ceritakan di bagian lain blog ini, bulan lalu. Pengalaman ini saya ceritakan di kelas, waktu mahasiswa saya nagih oleh-oleh. Oleh-olehnya cerita. Karena cerita itu, saya jadi teringat kejadian yang serupa. Saya juga ceritakan kejadian yang lain yang saya alami beberapa tahun yang lalu, ketika saya mengerjakan proyek di sebuah BUMN penting. Saking pentingnya, BUMN ini merasa perlu melakukan penjagaan yang ketat. Setiap tamu, visitor harus punya kartu visitor. Kalau kita akan menjadi visitor cukup lama kita juga wajib menjalani screening. Proses ini merupakan proses di mana kita harus mendaftar di sekuriti, mengikuti tes tertulis, yang isinya pertanyaan berkaitan dengan ideologi. Seperti ujian P4 dan PPKN deh.
Teman saya yang berangkat sebelumnya waktu itu marah-marah karena harus ikut proses ini. Selain itu kekesalan dia juga bertambah karena setiap keluar masuk instalasi/plant area dia mesti diperiksa sekuriti. Termasuk kalau harus keluar kompleks mau ke pasar atau mau makan seafood yang sedap itu, malam malam. Ketika tahu saya mau ke sana juga, dia nakut-nakutin saya, "rasain deh nanti" katanya.
Pada saatnya tiba, saya malah lebih siap. It is ok, kalau saya harus melewati hal tersebut, rileks aja. Jadi, ketika harus ikut screening, karena saya lebih bersikap pasrah, saya lebih santai, bahkan bisa ngobrol dengan santai dengan petugasnya. Walhasil saya bisa menjalani semuanya dalam waktu yang singkat. Ketika keluar masuk kompleks saya juga sudah siap. Beberapa meter sebelum pos penjagaan, saya sudah buka kaca jendela (aturannya begitu), saya ucapkan salam pada penjaga dengan santai. "Malam pak". Beres, lancar. Dia tengok dikit. Pass.
Ketika masuk plant site nih besoknya, lengkap dengan rombongan para asisten dan rekan lainnya, saya dikerjain mereka. Jalan duluan Bu, katanya. OK, saya bilang. Saya maju duluan bareng satu asisten. Dengan ramah dan respek pada petugas, saya ucapkan "selamat pagi pak", lewat, tanpa pemeriksaan barang bawaan dan tas. Semua surprise. Lho kok kali ini gak diperiksa, biasanya kami selalu kena periksa. Sejak itu saya dijuluki mayoret, karena keluar masuk plant site itu selalu di depan.
Dua kejadian ini yang membuat saya merenung dan menceriterakan nya kembali kepada mahasiswa saya. Barangkali, ini barangkali ya, karena saya memandang mereka (petugas sekuriti) juga manusia dan saya memperlakukan mereka seperti manusia lainnya, yang sekali lagi saya hargai mereka karena sebetulnya mereka menjalankan tugas yang seharusnya mereka lakukan. Menjaga keselamatan negera atau instalasi yang harus mereka jaga. Dan yang kedua, mungkin juga karena saya sendiri sudah pasrah. Ketika dalam seminggu saya di sana, saya sekali waktu kena juga diperiksa, tidak ada masalah (maksudnya diperiksa itu tas dan segala yang kita bawa harus diperlihatkan pada petugas, termasuk isi tas tangan kita). Perasaan saya ringan-ringan saja.
Dari beberapa kejadian ini, kemudian saya teringat istilah yang biasa didengungkan teman saya, "memanusiakan manusia". Arti dari sepenggal kalimat ini sangat mendalam. Dan saya merasa saya belum sanggup menjalankannya. Itu sebabnya saya merasa berhutang, seperti yang saya ceritakan di awal.
Semoga Tuhan selalu mengingatkan saya, untuk menghargai keberadaan manusia lain. Amin.

No comments: