Thursday, November 1, 2007

Cerita dari perjalanan 1

Orang desa saba Amerika. Begitulah barangkali julukan yang akan diberikan orang pada saya. Ini adalah perjalanan pertama saya ke Amerika. Jika perjalanan pergi yang saya rasakan lancar-lancar saja, mungkin karena saya sudah siap menerima kesulitan perjalanan yang sudah saya dengar dari berbagai orang. Sejak sulitnya memperoleh visa (dan ternyata tidak jadi masalah buat saya), petugas imigrasi baik di Singapur maupun di Amerika, yang juga lancar-lancar saja.

Bagaimana selama di sana? Yang mengesankan buat saya adalah rumah-rumah yang tidak berpagar pembatas. Tidak khawatir dimasuki orang lain?
Dulu saya mengartikan high contact culture dan low contact culture saya sering terbalik. High contact culture artinya budaya dimana kontak fisik dengan orang lain dianggap hal biasa, misalnya berdiri berdekatan, salaman, pelukan atau ciuman pipi ketika bertemu adalah hal biasa. Bangsa Amerika, cenderung low contact, meskipun ada yang mengatakan in between high dan low contact culture. Itu sebabnya saya heran, kalau mereka tidak terbiasa kontak, mengapa tidak ada pagar rumah yang akan membatasi interaksi dirinya dengan orang lain. Rupanya, karena yakin bahwa orang lain tidak akan mendekati dirinya, maka pagar rumah menjadi tidak penting lagi. Karena yakin bahwa orang lain akan menghormati wilayahnya, maka pagar rumah dianggap tidak terlalu penting lagi. Indonesia termasuk high contact atau low contact? Nah, tergantung. Kalau di kota besar cipika cipiki sudah jadi kebiasaan, baik antar wanita, wanita dengan pria atau pria dengan pria. Beda dengan di daerah atau di kota kecil. Dulu saya merasa bahwa Indonesia termasuk low contact culture, tapi, rumah di Indonesia selalu berpagar. Barangkali memang gak ada hubungan antara high contact culture atau low contact culture dengan kebiasaan rumah berpagar. Kesadaran orang akan hak orang lain lah yang kelihatannya menentukan, keberadaan pagar ini.
Hal berikutnya yang berkesan bagi saya adalah transportasi yang digunakan mereka, jaringan bus yang menghubungan transfer point dengan transfer point lainnya. Saya mengkhususkan waktu sehari minta diantar anak saya mengelilingi kota Lansing dengan bus. Barangkali menggelikan bagi orang lain, tapi saya keukeuh minta ditemeni dia. Masuk bus, masukkan uang sedollar (anak saya pake kartu langganan), sambil bilang "may I have transfer please", maka si supir bus akan memberikan karcis transfer yang berlaku dua kali naik bus lagi atau dua jam sejak karcis diprint. Bagian depan disediakan untuk handicapped person atau manula. Hebatnya, mobil akan direndahkan jika ada orang berkusi roda naik atau turun bus, untuk memudahkan mereka. Supir juga akan membantu mereka untuk duduk dengan aman di kursi rodanya di dalam mobil. Padahal mereka punya jadwal untuk sampai di tiap bus stop atau point transfer.
Yang mengesankan berikutnya, adalah yang berkaitan dengan pelayanan baik waktu belanja, di restoran atau di pesawat. Pegawai toko akan menyapa kita dengan how are you atau have a nice day ketika kita selesai bayar. Saya coba bayangkan di Indonesia. Katanya orang Indonesia itu ramah. Menurut saya tidak sepenuhnya benar. Kalau kita mengartikan senyumnya orang Indonesia ramah, mungkin benar, tapi ramah yang tidak mengandung empathy, hanya fisik saja. Ada benarnya pendapat Rick Moore yang mengatakan, orang Indonesia itu murah senyum, tapi ketika dia sebagai patron apartemen minta bantuan petugas apartemen karena ada bagian yang tidak berfungsi di apartemennya, petugas tidak bener bener mencarikan jalan keluar untuk Rick.
Service yang mereka lakukan betul-betul menunjukkan empathy pada konsumen. Di pesawat misalnya, mereka bantu kita mencarikan tempat untuk menyimpan cabin bag, menawarkan minuman, dsb. Atau di restoran, waitres atau waiter akan nanya, apakah semua sudah sesuai dengan keinginan, apakah tidak ada masalah, adakah yang masih diperlukan, ...
Di Indonesia, sulit meniru hal yang sama. Mengapa? Menurut saya feodalisme yang masih berlaku di bangsa ini salah satu penyebabnya. Pekerjaan pelayanan dianggap pekerjaan rendah, maka berada pada posisi itu sebetulnya berada pada posisi tidak enak. Hanya karena kebutuhan perutlah yang menyebabkan orang menjalani pekerjaan tersebut, maka keterpaksaan lah yang ada. Tidak heran kalau teman saya berkomentar begini: "tersenyum adalah bagian dari job descriptionnya pramugari". Waaahh...bisa gak tulus dong, karena dorongannya eksternal bukan internal. Kembali lagi persoalannya adalah arti manusia, bagi manusia lainnya.
Baru saja saya mendengar "sultan Jogya" mengatakan kata yang sama dengan salah satu judul blog saya "memanusiakan manusia".
Cerita sambungannya, saya akan ceritakan di bagian kultur. Have a nice day. :=)

Memanusiakan Manusia?

Beberapa hari ini saya merasa punya utang pada seseorang di kantor, seorang petugas tingkat teknisi. Pasalnya, saya belum sempat mengucapkan salam lebaran, mohon maaf lahir bathin. Karena biasanya setiap lewat tempatnya bertugas, saya selalu menyapa dia. Sibuk, itulah alasan nya.

Pulang dari nengok anak saya di Michigan, ada banyak pengalaman yang saya ambil selama perjalanan. Pertama tentang petugas imigrasi yang saya ceritakan di bagian lain blog ini, bulan lalu. Pengalaman ini saya ceritakan di kelas, waktu mahasiswa saya nagih oleh-oleh. Oleh-olehnya cerita. Karena cerita itu, saya jadi teringat kejadian yang serupa. Saya juga ceritakan kejadian yang lain yang saya alami beberapa tahun yang lalu, ketika saya mengerjakan proyek di sebuah BUMN penting. Saking pentingnya, BUMN ini merasa perlu melakukan penjagaan yang ketat. Setiap tamu, visitor harus punya kartu visitor. Kalau kita akan menjadi visitor cukup lama kita juga wajib menjalani screening. Proses ini merupakan proses di mana kita harus mendaftar di sekuriti, mengikuti tes tertulis, yang isinya pertanyaan berkaitan dengan ideologi. Seperti ujian P4 dan PPKN deh.
Teman saya yang berangkat sebelumnya waktu itu marah-marah karena harus ikut proses ini. Selain itu kekesalan dia juga bertambah karena setiap keluar masuk instalasi/plant area dia mesti diperiksa sekuriti. Termasuk kalau harus keluar kompleks mau ke pasar atau mau makan seafood yang sedap itu, malam malam. Ketika tahu saya mau ke sana juga, dia nakut-nakutin saya, "rasain deh nanti" katanya.
Pada saatnya tiba, saya malah lebih siap. It is ok, kalau saya harus melewati hal tersebut, rileks aja. Jadi, ketika harus ikut screening, karena saya lebih bersikap pasrah, saya lebih santai, bahkan bisa ngobrol dengan santai dengan petugasnya. Walhasil saya bisa menjalani semuanya dalam waktu yang singkat. Ketika keluar masuk kompleks saya juga sudah siap. Beberapa meter sebelum pos penjagaan, saya sudah buka kaca jendela (aturannya begitu), saya ucapkan salam pada penjaga dengan santai. "Malam pak". Beres, lancar. Dia tengok dikit. Pass.
Ketika masuk plant site nih besoknya, lengkap dengan rombongan para asisten dan rekan lainnya, saya dikerjain mereka. Jalan duluan Bu, katanya. OK, saya bilang. Saya maju duluan bareng satu asisten. Dengan ramah dan respek pada petugas, saya ucapkan "selamat pagi pak", lewat, tanpa pemeriksaan barang bawaan dan tas. Semua surprise. Lho kok kali ini gak diperiksa, biasanya kami selalu kena periksa. Sejak itu saya dijuluki mayoret, karena keluar masuk plant site itu selalu di depan.
Dua kejadian ini yang membuat saya merenung dan menceriterakan nya kembali kepada mahasiswa saya. Barangkali, ini barangkali ya, karena saya memandang mereka (petugas sekuriti) juga manusia dan saya memperlakukan mereka seperti manusia lainnya, yang sekali lagi saya hargai mereka karena sebetulnya mereka menjalankan tugas yang seharusnya mereka lakukan. Menjaga keselamatan negera atau instalasi yang harus mereka jaga. Dan yang kedua, mungkin juga karena saya sendiri sudah pasrah. Ketika dalam seminggu saya di sana, saya sekali waktu kena juga diperiksa, tidak ada masalah (maksudnya diperiksa itu tas dan segala yang kita bawa harus diperlihatkan pada petugas, termasuk isi tas tangan kita). Perasaan saya ringan-ringan saja.
Dari beberapa kejadian ini, kemudian saya teringat istilah yang biasa didengungkan teman saya, "memanusiakan manusia". Arti dari sepenggal kalimat ini sangat mendalam. Dan saya merasa saya belum sanggup menjalankannya. Itu sebabnya saya merasa berhutang, seperti yang saya ceritakan di awal.
Semoga Tuhan selalu mengingatkan saya, untuk menghargai keberadaan manusia lain. Amin.

Tuesday, October 9, 2007

Imigrasi

Apa sebetulnya tugas pegawai imigrasi di bandara? Pertanyaan itu menjadi sesuatu yang membayangi saya selama perjalanan ke Michigan, menengok anak dan ponakan lebaran ini.
Kesan selama ini yang saya tentang petugas imigrasi dengar selalu "menyeramkan". Di Indonesia atau di Amerika, sama menyeramkannya.

Pertama kali saya berhubungan dengan petugas imigrasi adalah ketika ke singapur tahun 2006. Mukanya petugas imigrasi sedingin es di kulkas (maaf ya bapak/ibu). Wah, kupasang hati lapang dengan pemikiran "they are doing their job" "they do what they have to do" (apa memang harus dingin ya) . Sebetulnya ini cuma taktik untuk afirmasi diri untuk lebih pasrah menghadapi situasi apapun yang bakal dihadapi. Smile....itu penting...no matter how dinginnya mereka.
Bolak dan balik lagi ke Indonesia aman aman saja. Bahkan saking jujurnya aku sudah siapin declare barang yang ku bawa dari Singapur. Dan malah ketinggalan entah di mana. Soalnya aku bilang gini sama anakku, andaikata mereka ingin ambil barang ini silahkan saja, ini kan cuma kacang dan buah buahan kering dan satu CD All the president man yang rencananya aku akan jadikan kasus di kelasku.

Perjalanan ke dua adalah minggu lalu. Kali ini kami cuma berdua, aku dan anakku. Imigrasi Indonesia? Nothing change, sami mawon, masih sedingin kulkas. Kami nginep di ambassador hotel transit di singapur. Malas keluar masuk karena jam 4 sore landing dan jam 4 pagi harus sudah check in di bandara. Karena gak bisa tidur akhirnya jam 2 kami memutuskan check out dari hotel dan keliling keliling di bandara. Minum kopi, sarapan (memang sudah diniatkan gak puasa, soalnya kemarin lumayan pusing puasa dalam perjalanan),. Ketika waktunya check in di D kami diperiksa oleh petugas imigrasi sepertinya orang Malaysia. Melihat saya dia langsung nebak Indonesia, padahal aku sudah siap berbahasa Inggris. Sopan, ramah, tidak ada prejudice, pertanyaan semua diajukan dengan konteks "saya ingin membantu kamu". Kalau ada sesuatu yang perlu aku ketahui katakan padaku sekarang juga. Kamu ngepak sendiri barang? ada orang lain yang bantu? bawa barang seperti ini? ...dst dst. Kebetulan aku bawa hak pen. Aku tanya, apakah barang seperti ini boleh kubawa? setelah diamatinya dia bilang menurutku boleh dibawa. tapi sebaiknya tunjukkan lagi di gate nanti. Kalau mereka bilang gak boleh ya serahkan saja, katanya. OK fair enough kupikir.
Di gate D44 yang mereiksa India, tegas, not too cold, hehehe...aku lolos juga dengan barang tadi. Jadi baik baik saja ternyata.

Seetelah 17 jam lebih , setalah arus lari-lari di Narita karena hampir ketinggalan pesawat sambungan ke Detroit, kami sampai di Detroit,. Petugas imigrasinya cakep, berseragam gagah, biru tua, seputar pinggang penuh dengan berbagai gauge, tapi tetap ramah.
Pertanyaannya cuma: ngapain ke sini, kapan terakhir ke sini, pekerjaan kamu apa? berapa lama akan ada di sini? anakmu ngapain di sini? semua dia ajukan dengan ramah. Sempat berkelakar ketika kubilang anakku di Lansing Community College' dia bilang that is great, as long as not MSU. Menghibur, karena aku yakin MSU adalah sekolah yang reputable di dunia ini.

Nah step berikutnya periksa lagi form declare yang dibawa . Ini juga lolos dengan baik. terakhir diperiksa bawaan.
Kami sempat salah jalur, sambil nunggu, kau baca valuenya mereka. Bukan main, memang dengan baca itu rasanya semua akan mencoba meningkatkan diri ke arah sana, jadi semacam self fulfilling prophecy bagi para petugas ini. Jadi kebanggan kalau mereka bisa memenuhi semuanya.
Dengan ramah si petugas mengatakan kamu salah jalur, dan segera mengantar kami ke jalur yang smestinya kami ikuti. Diantar,....wow...bukan main. Inilah service yang benar benar service. Di pemeriksaan isi koper memang mereka teliti. Tapi mreka hanya menyisihkan koper yang menurut scanning mereka ada sesuatu yang perlu dicurigai. Meskipun mereka masih salah identifikasi. Diidentifikasi di koper anakku ada sesuatu. Setelah dibongkar, ternyata gak ada apa-apa. Mereka berusaha menutup koper itu lagi meskipun dengan susah.

Lantas kenapa di Indonesia gak bisa dilakukan seperti ini? Mengapa????????
Apakah semua perlu dicurigai kriminal, penyelundup?

Sunday, September 30, 2007

Ujian

Buat teman teman di DMB2 tercinta.

Renungan setelah ujian tertulis dan tertutup MRBL.

Saya jadi malu hati ketika teman saya bilang gini. Entah ditujukan pada siapa. Puasa-puasa gini ujian kok nengok kiri kanan, apa gak batal?
Wah,...... saya langsung introspeksi. .......Apakah saya tadi tengok kiri kanan?.......Hmmmm....... Ya nengok sih. Kalau enggak kan pegel nunduk terus atau lurus terus...hehehe.
Ya...gimana gak langsung introspeksi aku kan dosen, kalau aku juga melakukan hal yang sama yang biasa dilakukan murid muridku, apa kata dunia............?
Biar saya yang menjawab pertanyaan tadi pada Yang Maha Kuasa, yang sudah tidak perlu lagi jawaban itu, karena Beliau sendiri sudah Maha Tahu. Terimakasih untuk peringatannya. Semoga Allah senantiasa menjaga kita dari perbuatan yang dilarangnya. Amien. Semoga kita bisa lulus dengan baik dan lurus pula. Amien.

Wartawan Gadungan?

Setelah pusing tujuh keliling ujian metode riset, aku memutuskan untuk melaksanakan niat tertunda untuk nengok keluarga di Garut. Di sana kami baru saja mendapat sumbangan untuk taman bacaan masyarakat (TBM). Adik-adikku bingung untuk segera mewujudkan taman bacaan yang cukup baik. Hmmm...cukup baik, untuk ukuran sebuah kampung kecil. Kebetulan ada pondok peninggalan orang tua, yang sekarang tidak ada penghuninya. Maka kami jadikan setengahnya untuk TKA dan sebagian lagi untuk TBM ini. Bukunya belum banyak, soalnya adikku masih belum srek mau beli buku seperti apa? Nasihatku sih, coba konsentrasikan ke remaja ke bawah aja dulu. Beli bacaan yang menyenangkan tapi ada nilai yang dapat diambil di dalamnya. Justru di situ rupanya kesulitannya. Kebanyakan buku komik yang ditemui.
Akhirnya, kami mengumpulkan buku-buku yang ada di rumah yang kami beli sewaktu anak anak masih kecil dan sekarang sudah tidak dibuka lagi. Lumayan, bisa memenuhi satu rak buku.
Saya minta anak saya bikin proyek mengumpulkan buku baik yang sudah ingin disumbangkan oleh orang karena sudah tidak dibutuhkan lagi misalnya. Proyek ini pernah dia lakukan waktu aksi sosial untuk panti asuhan.

Apa hubungannya dengan wartawan gadungan? Begini cerita singkatnya.
Di Garut sana setelah melihat fasilitas, sambil diskusi bagaimana menambah fasilitas ruang yang memadai, mencari dari mana duitnya? atau persisnya berapa banyak yang diperlukan, berapa lama kami bisa mengumpulkan uang yang diperlukan ini, dsb.dsb, biar sekalian bangunan TKA nya juga bisa diperbaiki...sampailah kami pada pembicaraan santai.
Salah satu ipar cerita, bagaimana mereka kedatangan lima wartawan yang bertahan bertanya tanya macam macam selama l3bih dari 3 jam , yang ujung-ujungnya minta duit.
Kalau soal yang begini, kami diajari dengan keras oleh ayah almarhum untuk mengatakan TIDAK .
Yang lucu di awal "wartawan" ini menasihati adik saya "bahwa setiap peser uang itu harus dapat dipertanggung jawabkan".
Kemudian dilanjutkan dengan "ada kabar semua sumbangan ini dijadikan fasilitas fisik saja"
Setelah lama berdebat, sampai mengatakan bahwa kami baru saja seminggu memperoleh sumbangan tersebut dan belum sempat beli buku, sampai buku tanbungannya pun diperlihatkan bahwa uangnya masih utuh ada di sana, akhirnya adik saya terbesar kalah sabar (bulan puasa pula), dan panggil kakak tertua yang ada di sana. Kakak kami bilang begini: silahkan anda laksanakan tugas anda, kalau mau memberitakan kami baik yang buruk maupun yang baik, silahkan sesuai dengan keadaan. Tapi kami juga punya hak dan kewajiban yang sama, kalau ada yang tidak beres, kami juga bisa melaporkan hal yang sama. Akhirnya mereka keluar. Gigit jari. Ngeloyor pergi ke jalan.
Selesai?.....Tunggu dulu.
Tidak lama kemudian seorang santri yang ada datang dan bilang para "wartawan" tadi minta kakak saya menemui mereka di jalan. "tidak ada cerita, aku mau sholat" kata kakak saya. Pulang kamu , katanya ke santri tadi. Jangan layani orang itu.
Tahu gak mempan, akhirnya mereka balik lagi ke rumah dan bisik-bisik bilang sama adik saya, " ya buat bensin aja lah" Dengan gemes adik saya bilang : "bagaimana saya mesti mempertanggungjawabkan uang bensin ini?" Skak maat...
Segera si wartawan gadungan ini ngeloyor pergi.....

Maaf pada para wartawan yang bener dan lurus. Tapi cerita ini adalah cerita yang betul-betul terjadi. Kami prihatin melihatnya.

Yang lebih memprihatinkan, lima wartawan ini di antar oleh orang dari dinas yang memberi bantuan untuk TBM tadi.

Saya berdoa kepada Tuhan YME untuk mendapat jalan agar bisa segera membangun TKA ini dengan kekuatan kami tanpa harus menerima bantuan pemerintah. Adik-adik saya (semua perempuan) kapok kalau harus menemui lagi hal seperti ini. Kami orang sederhana yang hanya ingin mewujudkan impian orangtua kami yang belum terwujud di masa hidup beliau, yaitu mendirikan sekolah buat rakyat.

Saturday, September 15, 2007

Every class has personality

Sampai saat ini kalau di hitung-hitung yang paling menyenangkan ngajar itu di kelas Chevron. Mahasiswa nya pinter-pinter dan punya keinginan belajar yang besar, serta disiplin. Di samping itu selain mereka mudah menerima feedback, sikapnya bener bener mencerminkan orang dewasa yang memiliki motivasi untuk belajar.
Apakah berarti lebih mudah ngajarnya? Tidak juga. Yang jelas sih memang lebih menyenangkan membuat yang ngajarnya juga semangat. Kenapa tidak lebih mudah? Jawabannya adalah karena pengajar juga harus lebih siap. Menyesuaikan diri dengan karakter kelas, sehingga siap share yang seimbang. Pertanyaan yang diajukan juga pertanyaan yang didasari pengalaman mereka di lapangan. Di sini lah seni nya "ngajar". Kalau hanya berpegang sama substansi, kelas seperti ini sudah tidak perlu banyak diajari, tinggal didorong aja sedikit. Mereka juga mampu beli buku sendiri dan dibaca pula.
Yang menyenangkan, dari kelas seperti ini, dosen juga mendapatkan pengetahuan tambahan berkaitan dengan praktek di lapangan seperti apa kira-kira yang terjadi. Karena itu mengaitkan contoh dengan praktek lapangan yang dialami mereka menjadi penting. Dalam hal pengetahuan dosen tentang lapangan perlu ada dasarnya, sehingga bisa melempar pertanyaan yang tepat untuk memancing situasi lapangan yang lebih luas berkaitan dengan aplikasi dari teori yang dikemukakan.
Yang lucu ketika saya menyampaikan terimakasih saya kepada kelas karena partisipasi mereka, dan bahwa selama dua hari bersama mereka, kami juga memperoleh banyak "pelajaran" baru. Mereka mengira saya terlalu merendah. Padahal hal tersebut saya kemukakan spontan dan tulus. Saya bener-benar tidak bisa menahan diri untuk mengatakan bahwa kami senang berada di tengah mereka dan memperoleh "pelajaran" banyak dari kuliah itu sendiri.

Saya jadi inget komentar Andy, every class has personality. Begitu katanya, ketika saya dapat tugas presentasi di depan kelas dia dan saya membawakan presentasi tentang personality. You are right Andy. Hey kapan kamu mau kirim tulisan kamu ke aku, katanya mau kirim, janjinya.

Thursday, August 9, 2007

Peter Principle 1

Saya ceritakan dulua asal mula kepenasaran saya mencari buku yang disebut The Peter Prescription.
Awal tahun 2007 ini, semua yang ngajar (in English) nya masih dodol diminta ikut kursus. Salah satu instrukturnya namanya Andy. Galak, tapi humoris. Sekali waktu saya kebagian membawakan kasus depan dia untuk dikritisi, kekurangannya dan diberi saran perbaikan. Kasus yang kubawakan, bagaimana seseorang manapaki jenjang karir, naik ketingkat yang lebih tinggi, tapi ternyata dia tidak mampu menjalankannya. Waktu itu saya bilang, mungkin tidak terbiasa atau belum bisa mengubah sikap staf menjadi bos. Karena teman lamanya sekarang berada di posisi bawah, jadi tidak terbuka lagi. Atau barangkali kebiasaan mico manager nya masih kebawa sampai posisi bos. Nah yang satu ini merupakan derailment bagi seorang leader.

Waktu itu lah Andy bilang ada sebuah prinsip yang disebut Peter principle yang bunyinya:

"In a hierarchy every emlpoyee tend to rise to his level of incompetence"

Saya cari bukunya, saya temukan hanya ada used book di Amrik sana, harganya cuma 6 dollar sen. Mahalan ongkos kirimnya. Kukirim ke rumah ponakanku. Waktu bapaknya nengok dan balik lagi ke Indonesia, buku itu sudah dibawakannya. Ternyata isinya menarik sekali.

Saya akan menceritakannya satu per satu.

Menurut Peter, manusia itu menciptakan hierarkhi selama hidupnya. Sejak masa kecilnya. Bayangkan saja sekolah ada jenjangnya: TK, SD, SMP, SMU...dst Lihat lagi di organisasi, di pemerintahan, di militer...dan lain lain.

Inti dari prinsip yang dia kemukakan ini adalah bahwa, umumnya manusia akan mengembangkan dirinya sampai suatu saat sampai di titik tidak ada lagi tangga ynag dapat dititi nya. Ambisi manusia akan membuat dia menciptakan tangga lanjutannya. Sampai suatu ketika ujung tangga ini tidak dapat ditapakinya, karena ketidak kompetenan dia.

Banyak kasus yang memberi contoh situasi ini. Saya mengerti sekarang mengapa seorang tukan sate yang jualan di pojok jalan Pendawa tidak mau meningkatkan usaha nya menjadi lebih besar. Padahal konon satenya laku sekali, sehingga dia bisa berangkat ke Mekah lima kali selama ini. Alasannya simpel. Dia khawatir tidak dapat mengelolanya.
bagaimana contoh lain ...akan saya bahas di waktu lain.

Abilene Paradox, Asumsi

Pernah denger tentang Abilene Paradox? Cerita tentang kesalah persepsian dan salah asumsi ini sering saya jadikan contoh di kelas. Ceritanya saya modifikasi dengan cerita Indonesia. Kira-kira begini: Di satu hari Minggu siang yang panas sebuah keluarga berkumpul sambil ngobrol ke sana kemari. Sepasang suami istri dengan anak dan mantunya, ngobrol keseharian. Tiba-tiba sang Bapak mertua mengajak yang lainnya untuk makan siang di luar. "Kalau kita makan di Ciganea (yang di Purwakarta maksudnya, dulu belum ada Ciganea di Bandung) kayaknya enak ya" Mula-mula si isteri (ibu) diem aja, tidak menanggapinya. Tidak lama kemudian anak perempuannya menjawab: Iya pak, kayaknya enak ya makan di luar minggu minggu gini. Sambil jalan-jalan. Melihat respon isterinya, sang mantu (suami anaknya si Bapak) bereaksi juga: Wah boleh tuh, aku ikut deh. Akhirnya, sang mertua perempuan jadi ikut juga melihat semuanya sepakat untuk pergi.
Perjalanan ke Ciganea, ditempuh dalam waktu relatif cepat, lewat Cipularang minggu siang gak terlalu rame, sejam setengah kemudian sudah di depan Rumah Makan bu Haji Ciganea. Waduh ternyata gak bisa langsung duduk, karena antrian sudah lumayan banyak. Jadi lah mereka menunggu setengah jam untuk mendapat tempat duduk. Maklum laku sekali restoran yang terkenal dengan sambel dadak nya ini.
Maklum musim kemarau, ditambah Purwakarta memang lebih panas dari Bandung, makan sambil keringetan, seperti orang Indonesia pada umumnya, selesai setengah jam. Sudah ditunggu pelanggan lain yang ingin makan juga.
Sore-sore 4 jam sejak keberangkatan dari Bandung, mereka berempat sudah kembali berada di rumah. Turun dari mobil, sang anak perempuan bilang, enak juga ya tadi makan, sampai kenyang begini. Ibunya menjawab: apanya yang enak, makan aja harus ngabisin waktu empat jam dengan perjalanan, di panas yang berdebu pula. Aku gak menikmatinya. Respon ibu mertua ini ditimpali juga oleh sang mantu, iya mana agak macet lagi jalanan, banyak yang nyetir ugal-ugalan (maklum dia yang nyetir saat itu). Habis, kata anak perempuannya, aku kasihan sama Bapak. Ngajak makan, gak ada yang merespon. Padahal sih aku juga males keluar rumah. Hari panas berdebu kayak gini. Ternyata ketahuan bahwa si Bapak pun sebenarnya tidak terlalu berminat makan di luar, tapi karena dia pikir semua orang lagi bosan dan ingin menyenangkan istri, anak dan mantu nya dan dia menganggap bahwa ajakan makan adalah ajakan yang tepat maka, keluarlah ajakan tadi. Yang lain menyambut ajakan tadi juga berasumsi bahwa sang Bapak, dan sang anak perempuan, kepingin sekali pergi makan di lauar. Dan karena rasa sayang dan ingin menyenangkan pihak lain itu yang membuat mereka mau pergi.

Apa makna semua ini?

Pertama, niat baik tidak selalu menghasilkan kebaikan. Niat baik nya si Bapak, tidak menghasilkan kebaikan. Ada kata kata bijak yang mengatakan "road to hell pave with good intentions" .....
Jadi niat baik saja tidak cukup. Tentang hal ini saya sudah sering mengkritik suami yang mengatakan "niatku kan baik" meskipun hasilnya jelek, yang penting niatnya sudah baik. Menurut saya ada hal lain yang perlu diperhatikan untuk mencapai tujuan baik atau mewujudkan niat baik ini, yaitu cara. Niat baik kalau cara tidak baik, bisa jadi hasilnya malah busuk.

Kedua, jangan gunakan asumsi.
Asumsi bahwa orang memperhitungkan diri kita, asumsi bahwa orang lain tahu tugasnya, asumsi bahwa orang lain tahu batas, asumsi bahwa orang lain akan sebaik kita memperlakukan dia, asumsi bahwa orang lain akan jujur dengan ucapannya...asumsi bahwa pembimbing akan memberi tahu kesalahan, asumsi bahwa semua bisa dikerjakan dengan mudah, ....dan masih banyak lagi.
Saya berikan beberapa contoh kejadian yang menimpa seseorang akhir-akhir ini, berkaitan dengan asumsi.
Tiba-tiba rapat dibatalkan. Lho, mengapa? Kan sedang pada sibuk hari ini. Wah...padahal saya sudah menggeser acara supaya pada saat rapat kosong.
Ini keputusan yang didasarkan asumsi.

Contoh lain: Keluar dari bandara, kami (aku dan suamiku kembali ke tempat mobil diparkir). Lho kok mobil tidak ada di tempatnya. Aku belum pikun lah, untuk tidak mengenali tempat parkir di terminal 2. Setelah ditelpon ternyata, mobil dipindah oleh supir, dan dia nunggu di pintu keluar. Lho wong aku dan suamiku ambil jalan lain waktu keluar dari bandara menuju mobil, tidak ambil jalan semula. Ya...gak ketemu dong. Aku cuma bisa nyengir deh kalau sudah begitu, ya salah sendiri gak bilang dan berasumsi, supir akan ngerti kalau mindahin mobil itu akan lapor, harusnya kan kukasih tahu kalau tahu begitu. Kami memutuskan pergi dari bandara 5 menit sebelum jadwal take off nya anak kami ke Seoul. Di perjalanan, masih di lingkungan Cengkareng, anakku nelpon, ngabari mau boarding dan ngabari kalau semua HP gak akan bisa dipake di Seoul, karena sistemnya tidak compatible. Kecuali yang 3 G katanya.
Nah...ini akibat asumsi juga kan. Asumsinya, telkomsel bisa digunakan atau konek di mana saja, seperti iklannya.
Kata dia lagi, satu dari 3 temennya bawa 3 G, jadi dia akan sms aku sesampai di Seoul pinjem HP temennya. Lega juga rasanya masih ada komunikasi deh. Atau dia bisa sewa HP di sana. Padahal di sini dia sudah isi IM3 nya 200 ribu isinya. Maih dikasih catatan, kalau kurang kamu telpon ibu nanti diisi dari Bandung sini. Hehehehe.....
Pagi-pagi aku sudah ngitung nih, mestinya sudah sampai mereka di Seoul nih. Kok belum ada sms ya. Suamiku tanya, sudah ada kabar?
Gak lama kemudian ada telpon, nomornya aneh sekali. Eh dia ternyata ngabari bahwa sudah sampai di Seoul, pake kartu telepon. Soalnya semua HP, even 3G gak jalan di sana. Nah kan korban asumsi lagi.
Masih panjang sih sebetulnya cerita tentang asumsi dan pengambilan keputusan ini. Intinya, asumsi salah ya pengambilan keputusan salah juga lah.

Abilene paradox sendiri sebetulnya dikaitkan dengan masalah persepsi dan atribusi. Bagaimana kesalahan persepsi bisa terjadi? Karena (salah satunya) kita sering mengukur orang lain dengan diri kita. Di sini kepekaan perlu diasah. Nah kalau dikaitkan dengan konsep self monitoring, untuk mengatasi kesalahan persepsi akibat kita memproyeksikan diri kita pada orang lain, diperlukan kepekaan dalam "membaca" perasaan orang lain.

Wednesday, August 1, 2007

Sistem Kinerja.

Tiga minggu belakangan ini topik hangat yang selalu dibicarakan super bos adalah banyaknya Staff/Analis yang nganggur, kurang kerjaan. Padahal digaji penuh.
Minggu pertama Kepala Seksi yang membawahi Staff Junior ini dikumpulkan Big Boss. "Sya tengarai banyak Staff yang nganggur, datang siang" Bagaimana nih para KaSexi, apakah cara mengalokasikan tugas dan pemantauannya sudah benar?
Satu per satu Kepala Sexi (botak kali ya) mengemukakan pendapatnya. Big Boss manggut-manggut. Yang satu bilang, berdasarkan standar beban kerja sebetulnya sudah dipenuhi. Yang lain bilang kami sudah membuat laporan kegiatan kami mingguan. Yang satu kagi bilang, yaa malah masih banyak tugas tambahan yang tidak tercatat yang datangnya belakangan dan gak bisa ditolak. Ok...Ok...kalau gitu aman. Terimakasih. Maaf kalau saya salah duga selama ini.
Semua Kepala Sexi lega, bereeees. Rapat selesai. Persoalan selesai.
Beberapa hari kemudian, tiba-tiba para Kepala Sexi ini diminta rapat lagi (di luar rencana) soalnya harusnya gak tiap minggu ada rapat Kepala Sexi. Ada apa lagi?
Maaf, rapat mendadak, ada persoalan genting, Big Boss membuka rapat, sementara para Kepala Sexi belum lengkap. Maklum rapatnya mendadak. Kertas diedarkan, isinya alokasi tugas resmi setengah tahun ke belakang ini. Banyak Staff Junior yang makan gaji buta, tidak mendapat tugas apa-apa setengah tahun mendatang ini. Padahal mereka mendapat gaji besar, pantesan aja banyak yang berminat untuk melamar kerja di sini.
Di surat penugasan ini kelihatan ada beberapa yang kurang pembebananya memang. Salahkah? Apakah Kepala Seksi bohong minggu lalu tentang penugasan sudah penuh ini? Banyak pelajaran yang bisa dikaji dari persoalan ini.
Menurut Jawaban Kepala Seksi:
1. Ini tugas periode setengah tahun ke belakang, di mana ada plot lain, selain tugas yang tertera di kertas ini. Walhasil informasinya gak lengkap.
2. By design, memang akan seperti itu alokasinya, karena ada tugsa lain diluar catatan tadi. Tapi belum ada mekanisme pencatatannya
3. Sebagian dari staff ini baru diangkat, Kepala seksi juga belum tahu, kalau staff ini sudah diangkat, bagaimana mau kasih tugas.
4. Ada staf yang dialkoasikan di satu seksi, tapi kepala seksi nya tidak merasa membutuhkan orang ini, karena tidak masuk kriteria dan tidak sesuai kebijakan yang ada di mana staff harus memilih mau jadi fungsional atau mau di struktural. Masih ada staff yang berstatus memegang dua jabatan berbeda. Susah lah ngaturnya. Bagaimana mengukur kinerjanya?

Sorenya semua staff dan para manajer di tiap layer dikumpulkan. Kembali masalah ini dibuka. Big Boss mengatakan kembali keberatannya. Sampai keluar kata kata yang gak enak di dengar di depan semua orang seperti "kamu digaji besar tapi tidak bekerja apa apa".
Besoknya semua staff khusus dikumpulkan. Kembali diberi tahu langsung oleh Big Boss, standarnya harus pegang tugas dua program, plus administrasi, plus riset, plus...plus. Kok berubah ya., dari rancangan semula yang mengatakan hanya pegang dua program saja. Dulu hitung-hitungannya begitu deh.
Celakanya salah satu staf ada yang gak terima diperlakukan seperti itu. Dia membantah. Gimana mungkin dia makan gaji buta, padahal pekerjaan dian banyak sekali, sudah menghasilkan beberap disain, riset, dan membantu senior seniornya. Belum lagi membantu para karyawan di level teknisi. Wah....memalukan. Big Boss minta maaf karena hal ini. Positif atau negatif. Positifnya, Big Boss gentleman mengakui kesalahan. Negatifnya, kurang hati-hati, kalau terlalu sering begini, bisa bisa kehilangan wibawa.
Mengapa sih sebenarnya semua persoalan ini terjadi?
Pertama: informasi yang digunakan keliru, atau tidak lengkap. Bagaimana mungkin menilai kinerja seseorang hanya dari sebagian penugasan saja. Bagaimana dengan penugasan yang lain, yang tidak tercatat. Adakah sistem pencatatannya?
Kalau tidak ada, bagaimana mau menilai performance seseorang, lha alat ukurnya juga gak ada.
Kedua, bagaimana mau berkinerja, kalau fasilitasnya juga tidak didukung, persetujuan anggaran yang diajukan sudah setengah semester tidak ada kejelasan, membuat beberapa kegiatan tidak bisa dijalankan.
Ketiga, mengapa para Kepala Sexi tidak diberiotorita yang cukup untuk mengelola staffnya. Kurang percaya? Micro manager? atau ada yang lain?
Mengapa isyu ini tidak pernah selesai? Ada yang mencari keuntungan dari situasi ini? Ada apa dibalik ini semua? Belum lagi mekanisme yang gak jelas. Kalau ada yang kurang, Kepala Sexi ini dioyak oyak. Kalau sukses? Apa ada penghargaan?
Persoalan lain dampak sampingan dari kocar kacir nya sistem manajemen yang ada adalah ternyata ada yang masih diminta kerja di dua seksi, gak jelas deh tanggungjawabnya.

Lesson Learned nya:
1. sistem kinerja perlu disediakan, kriteria kinerja perlu ditentukan, juga mekanismenya, dan apa konskuensinya.
2. Baru monitor bisa dijalankan kalau sudah jelas kriteria penilaian.
3. Kalau ada yang berkinerja? Diberi reward? Harus dong. Kalau ada yang tidak berkinerja? Dihukum atau dibina? Kalau dasarnya psikologi positif tentunya dibina. Sanggup melakukan coaching? Harus, tidak ada jalan lain. Di sini lah fungsi manajemen sumber daya manusia berjalan. Penilaian Kinerja bukan untuk menghukum, tetapi untuk "membina manusia".
4. Jangan menilai tanpa fakta. Itu tidak fair atau kita akan kehilangan muka. Karena si ini kelihatan baik, kelihatan sering melapor, maka seolah olah banyak kerjaannya. Yang lain yang banyak kerja, tapi gak banyak omong malah dianggap gak ada kerjaan. Feodal sekali, kalau sebentar sebentar staff harus lapor. Kapan kerjanya
5. Jangan berlakukan standar ganda, staff yang satu harus memenuhi persyaratan tertentu, dites ini itu, yang lain tidak.
6. Memberikan feedback kinerja, tidak di depan umum. Harusnya individual.

Tuesday, July 17, 2007

Jadi Guru Besar?,Susah setengah mati deh.

Jadi professor (guru besar) itu cita-cita atau keharusan? Barangkali jawabannya bisa dua-duanya. Dari sisi individu bisa jadi cita cita (bisa jadi.....) jika dilihat bahwa menjadi professor itu merupakan tangga tertinggi dalam karir seorang dosen. Harusnya begitu. Jangan tanya mengapa ada yang tidak berminat. Penyebabnya bisa beragam, ada yang malas mengurus tetek bengek persyaratannya, ada yang tidak mau menanggung implikasinya menjadi professor, dsb. dsb.
Dari sisi perguruan tinggi ya keharusan, soalnya kelompok keahlian atau laboratorium mesti dipimpin oleh seorang professor.
Tapi, mengapa begitu susah untuk menjadi professor, terutama di ITB. Beginilah perjalanan pengajuan kenaikan jabatan ke Guru Besar :
1. setelah berada di Lektor Kepala dan sudah mengumpulkan angka kredit sehingga mencapai angka 850 dengan berbagai persyaratan tertentu termasuk komposisi pengajaran, penelitian dsb terpenuhi, semua ini diajukan ke Tim Penilai Angka Kredit di Fakultas atau Sekolah. Lolos? Tidak ada kesalahan? Penilaian sesuai dengan aturan? Rekomendasi dari dua guru besar lainnya ada? Lewat. (Otherwise, you have to revalidate your score...sigh). Kalau lewat...lanjut
2. Selanjutnya semua berkas usulan dengan rekomendasi Ketua Senat Fakultas atau Sekolah oleh Dekan diusulkan ke TPAK Institut/Universitas. Disini diteliti lagi segala sesuatu nya. Waah ada yang salah mencantumkan item atau salah penilaian...kembalikan ke Fakultas atau Sekolah untuk diperbaiki. Kalau prima...lewat ke langkah berikutnya. Ke Senat Akademik
3. Di senat akdemik, berkas usualan ini dibahas di Komisi, komisi ngecek lagi semua persyaratan, sama seperti tadi kalau masih ada kekeliruan dikembalikan ke tempat asal berkas. Kalau Komisi 3 mengatakan usulan OK, proses lebih lanjut. Selanjutnya adalah minta pertimbangan Majlis Guru Besar.
4. Di MGB, sama ada Komisi yang akan membahasnya, dengan kriteria yang ditentukan MGB. Hasilnya bisa "direkomendasikan" atau "belum bisa mendapat pertimbangan".
Kembali ke Komisi 3 (sebagai bagian dari Senat tentunya).

Di sini lah terkadang tidak nyambung, apa makna "belum bisa mendapat pertimbangan" ini? Bagaimana harus diterjemahkannya? Ditolak selama lamanya? Ditolak saat ini tapi boleh diajukan lagi setelah diperbaiki? Kalau harus diperbaiki, bagian mana yang kurang?

Di sinilah kerumitan mulai. Persoalannya, ada kriteria yang diterapkan oleh MGB yang tidak dapat dijabarkan ke dalam kata-kata , sebagai inclusion requirement nya MGB.

Persoalannya berkaitan dengan proses pengembangan dosen, pegembangan kualitas dan kepakaran yang berkaitan dengan pengembangan karirnya.
Pertama, dosen sendiri perlu tahu apa yang harus dirintisnya dan secara persisten dijalaninya untuk dapat mencapai posisi Guru Besar ini. Kriteria ini yang menjadi guidancenya. Bagaimana bisa memperoleh arah yang tepat jika arah tersebut tidak diketahuinya. Maka sia-sia lah usaha 7 tahun mengumpulkan angka kredit, karena tidak sesuai dengan kriteria "beyond number called angka kredit". Guidance ini harus formal, sehingga merupakan pegangan yang legitimate.
Kedua, jika Fakultas/Sekolah atau dalam hal ini Kelompok Kepakaran ikut bertanggung jawab dalam pengembangan dosennya (harusnya sih begitu) maka Fakultas/Sekolah/KK juga perlu tahu untuk mendapat arahan cara bagaimana harus mengarahkan dosen-dosen dan bagaimana memfasilitasinya. Jika ada. Soalnya selama ini semuanya usaha sendiri. Cari saluran sendiri, cari network sendiri, cari kenalan di luar negeri sendiri. Fasilitas dari ITB? Oh ada dong, nama besar ITB sendiri dan rekomendasi rekan sejawat atau senior. Cukup kan? Apa yang kurang?
Kelemahan ini perlu dikaji lagi jika ingin berkembang. Situasinya sudah mulai kritis. Bukan berarti harus melunakkan kriteria, untuk kemudian mengurangi kualitas. Katakanlah kriteria harus mempunyai pengakuan internasional. Apa makna pengakuan internasional? menulis di jurnal internasional? Berapa lama butuh waktu persiapannya? Setahun? Dua tahun? Perlu berapa duit? Rasanya tidak ada gratis untuk mengajukan artikel atau menghadiri sebuah seminar yang kemudian makalahnya dimuat di proceedingnya. Sebagai gambaran saat ini, untuk ikut seminar di luar negeri untuk satu orang kisarannya sekitar Rp.30 juta per orang. Dibayari ITB? Amiiin..............
Dalam hal ini, beberapa Ketua Senat Fakultas dan Dekan memohon diberi waktu untuk itu. Soalnya perlu cari sponsor, cari proyek penelitian, dsb untuk mengumpulkan sarana dan fasilitas agar bisa mengirim dosennya ke seminar internasional. Apalagi? Kalau saya ikut seminar internasional. Itu termasuk pengakuan enggak? Oh, diundang tidak? Kalau tidak diundang, siapapun juga bisa datang. Jadi bukan pengakuan dong. Berat kan?
Syarat lain adalah sudah harus S3, sudah jadi pembimbing (minimal co pembimbing) buat S3. Yang ini gak terlalu sulit buat Fakultas yang sudah menyelenggarakan program S3. Tetapi menjadi sulit buat yang belum menyelenggarakan program S3.

Monday, July 16, 2007

Self Monitoring

Saya sedang menyukai hal-hal yang berpusat pada diri sendiri, yang pake self self gitu. Jadi topik kali ini juga pake self.

Kualitas kepemimpinan seseorang bukan hanya ditentukan oleh bagaimana dia membentuk follower, tetapi juga ditentukan oleh kemampuannya menahan diri untuk tidak melakukan intervensi pada kewenangan orang lain. Jika orang lain itu bawahannya, maka ini ada kaitannya dengan yang disebut empowerment. Siapkah "sang pemimpin" membiarkan proses pembelajaran bagi subordinatnya? Termasuk membiarkan kesalahan terjadi dan menjadikannya pelajaran. Jika yang dihadapinya kolega nya siapkah untuk menahan diri tidak mendominasi pendapat atau diskusi? Intinya ada pada kemampuan untuk memonitor situasi dan mengendalikan diri. Dua hal ini memang sulit dilakukan. Untuk mahasiswa misalnya, kemampuan ini menentukan bagaimana dia dapat menilai dirinya, dalam situasi tertentu, mampukah dia menyesuaikan diri dengan tuntutan atau ekpspektasinya sendiri. Nah yang terakhir itu sudah self motivating deh.

Begini, diyakini bahwa perilaku itu dipelajari. Sepanjang hidup manusia adalah belajar. Motivasinya bisa jadi karena reward atau punishment (positive or negative enforcement) bisa juga kesadaran internal akan manfaat dari yang dipelajarinya. Seberapa berat pun kuliah S3 yang mesti dijalani ini, karena kesadaran bahwa ini lah jalan untuk survive, maka pasti dijalani dengan segala resikonya tentu. ya enggak pak Zeffry...

Jadi dalam mengembangkan diri melalui proses learning dalam arti kata yang luas (learning mengandung arti change, jika tidak ada perubahan no learning at all)
1. kesadaran diri itu penting, ini menjadi syarat perlu bagi pengembangan diri.
2. kepekaan akan situasi untuk menilai diri sendiri dan menilai lingkungan, untuk dapat bertindak sesuai dengan kebutuhan, nah ini sudah masuk self monitoring. Kalau nyanyian kita sumbang saat berkaraoke, dan orang terpingkal-pingkal karenanya, ya sebaiknya berlatih lagi.
3. kesediaan untuk belajar dan berubah

Self monitoring bicara tentang bagaimana kita bisa mengamati lingkungan kita, mengukurnya dan beradaptasi terhadap situasi tersebut. Ini adalah bagian dari kapabilitas manusia. Menurut para pakar, kemampuan self monitoring terbagi dua:
Pertama, yang disebut dengan chameleon type, peka terhadap situasi eksternal dan kemudian dengan segera mampu menyesuaikan diri
Kedua adalah true to themself type , apapun situasinya seseorang akan berpegang pada apa yang diyakininya perlu dilakukan, dalam hal ini fokus pada diri sendiri lebih kuat.

Berikut adalah cuplikan yang diambil dari sebuah sumber di internet

High self monitors (chameleon type) memiliki ciri-ciri:

  • perilaku yang ditunjukkan berubahubah sesuai dengan konteks, dan sangat fleksibel dalam adaptasi sebagaimana seekor bunglon (chameleon),
  • memiliki kepribadian berbeda depan publik dan pribadi dan sangat berhati-hati dalam menggabungkan lingkaran sosial yang berbeda,
  • cenderung memiliki kemampuan manajemen yang baik dan unggul dalam pekerjaan yang mempengaruhi orang lain seperti seorang sales, marketer, politisi, dsb

Low self monitors (true to themself type) memiliki ciri-ciri:

  • mendasarkan perilakunya pada internal values and beliefs
  • bertindak sama di hampir setiap lingkungan sosial
  • dapat diandalkan opini nya karena senderung berkata sesuai dengan cara pandangnya
  • cenderung lebih unggul dalam pekerjaan berbasis penelitian atau proyek
So what? Kapasitas seseorang dalam self monitoring behavior dapat digunakan untuk proses seleksi, atau juga digunakan dasar untuk melihat kemampuan seseorang untuk berkembang.

Pada dasarnya manusia cenderung termotivasi untuk berperilaku berkeseuaian dengan dirinya. Secara umum perilaku seseorang dipengaruhi oleh sikapnya.

Self-monitoring mencakup tiga kecenderungan utama yang berbeda (Greenberg & Baron, 1990):

(1) kesediaan untuk menjadi pusat perhatian -- kecenderungan untuk berperilaku outgoing, extraverted ;

(2) kepekaan terhadap reaksi orang lain;

(3) kemampuan dan kesediaan untuk menyesuaikan perilaku untuk membalas reaksi positif orang lain,


Jadi apa style anda? high self monitor? atau low self monitor? Coba kuesioner berikut:

SELF-MONITORING SCALE

Developed by Mark Snyder (1974)

DIRECTIONS: The statements below concern your personal reactions to a number of different situations. No two statements are exactly alike, so consider each statement carefully before answering. IF a statement is TRUE or MOSTLY TRUE as applied to you, circle the "T" next to the question. If a statement is FALSE or NOT USUALLY TRUE as applied to you, circle the "F" next to the question.

(T) (F) 1. I find it hard to imitate the behaviour of other people.

(T) (F) 2. My behavior is usually an expression of my true inner feelings, attitudes, and beliefs.

(T) (F) 3. At parties and social gatherings, I do not attempt to do or say things that others will like.

(T) (F) 4. I can only argue for ideas which I already believe.

(T) (F) 5. I can make impromptu speeches even on topics about which I have almost no information.

(T) (F) 6. I guess I put on a show to impress or entertain people.

(T) (F) 7. When I am uncertain how to act in a social situation, I look to the behavior of others for cues.

(T) (F) 8. I would probably make a good actor.

(T) (F) 9. I rarely seek the advice of my friends to choose movies, books, or music.

(T) (F) 10. I sometimes appear to others to be experiencing deeper emotions than I actually am.

(T) (F) 11. I laugh more when I watch a comedy with others than when alone.

(T) (F) 12. In groups of people, I am rarely the center of attention.

(T) (F) 13. In different situations and with different people, I often act like very different persons.

(T) (F) 14. I am not particularly good at making other people like me.

(T) (F) 15. Even if I am not enjoying myself, I often pretend to be having a good time.

(T) (F) 16. I'm not always the person I appear to be.

(T) (F) 17. I would not change my opinions (or the way I do things) in order to please someone else or win their favor.

(T) (F) 18. I have considered being an entertainer.

(T) (F) 19. In order to get along and be liked, I tend to be what people expect me to be rather than anything else.

(T) (F) 20. I have never been good at games like charades or improvisational acting.

(T) (F) 21. I have trouble changing my behavior to suit different people and different situations.

(T) (F) 22. At a party, I let others keep the jokes and stories going.

(T) (F) 23. I feel a bit awkward in company and do not show up quite as well as I should.

(T) (F) 24. I can look anyone in the eye and tell a lie with a straight face (if for a right end).

(T) (F) 25. I may deceive people by being friendly when I really dislike them.



SCORING YOUR SELF-MONITORING QUESTIONNAIRE

Self-monitoring is the ability and desire to regulate one's public expressiveness to fit the clues and/or requirements of the situation.

SCORING KEY:

"T" and "F" (below) indicate responses of people who are high self-monitors. To calculate your self-monitoring score, place a check mark next to the questions that match the "T" and "F" responses below. Count the total number of "check" marks that appear in the margin of your survey. That number is your self-monitoring score.

A score that is between 0-12 would indicate that the respondent is a relatively low self-monitor; a score that is between 13-25 would indicate that the respondent is a relatively high self-monitor.

Question no.

T/F

Your score

Question no.

T/F

Your score

1

F

14

F

2

F

15

T

3

F

16

T

4

F

17

F

5

T

18

T

6

T

19

T

7

T

20

F

8

T

21

F

9

F

22

F

10

T

23

F

11

T

24

T

12

F

25

T

13

T

Total

Sunday, July 15, 2007

Self fulfilling prophecy

Here it come, matakuliah yang paling tak kumengerti. Manajemen Strategik. Bukannya gak suka, cuma saja setiap kali ngomong stratejik langsung yang kepikiran adalah "duuuhhh ini sih mesti terawang menerawang ke masa datang atau ke sesuatu yang bersifat makro". Bicara stratejik kan selalu bicara tentang masa datang dan jangka panjang. Maklum, aku cuma punya pikiran pendek. Nah ini dia yang dikupas juga oleh Pak Setiyadi, pengusaha Indonesia cuma 2 % yang bisa bepikir stratejik. Bisa dimaklumi, manusia yang tumbuh di negara tropis seperti Indonesia tidak dituntut berpikir jauh ke depan. Semua mudah kok, ibaratnya nancepin batang aja bisa tumbuh, katanya sih begitu. Jadi inget omongannya Andy Toehig (eh apakabar ya si Andy ini, janji mau ngirim tulisannya) dia bilang begini: "You do not need to work. What for?" Kaget juga dengernya, ya harus lah kerja, kalau enggak mau makan dari mana? Dia bilang lagi. "Life is easy for you" Compare with us, in Canada. If we did not work hard, then we don't have energy and food to survive along winter, we will die in just two days" Pantesan aja dia gak mau balik lagi ke Canada, dingin banget sih di sana. Jadi lingkungan mendorong attitude dan behavior kita berbeda.
Balik lagi ke kuliah Stratejik Manajemen; pak Setiyadi bilang soal self fulfilling prophecy. Ngerti sih itu yang setiap semester aku ajarin ke anak anak. Kira-kira artinya begini kalau kita mikir negatif ya hasilnya negatif, kalau positif ya hasilnya juga positif. Nah, menerapkannya ke diri sendiri, kadang berhasil kadang tidak. Kalau di reiki disebutnya affirmation. Jadi kalau aku gunakan self fulfilling prophecy untuk mendorong minat di manajemen stratejik ini, harusnya bersikap "take it easy, relax, face it" Jadi dalam rangka berusaha mencintai kuliah ini nih, pulang dari Bogor seger kan (soalnya bisa tidur di mobil sampai-sampai tempat makan kelewat saking pulasnya, walhasil malam itu gak makan) aku langsung browsing deh di internet nyari beberapa pengertian seperti strategic fit, strategic thrust, organization capability, organization competence, and so on and so on. Biar di kuliah ke lima (di kuliah ke lima kawan-kawan, jangan lupa, mana kita juga gak tahu kapan kuliah ke lima itu, jadwalnya tak menentu seperti cuaca di Indonesia aja) harus masukkan outline makalah dari salah satu topik. Kupilih topik strategic behavior. Asumsinya aku kan sudah lama nih jadi behaviorist, yaaa...gak jauh jauh lah kali dengan yang sehari hari digarap. Weh ternyata gak begitu jelas, bahan kurang, mau nulis apa ya? Bahkan di buku juga gak ditulis dengan jelas, di wheelen juga gak dibahas sama sekali. Kulihat lagi organization capability....nah ini lumayan. Meskpiun masih tetep rada rada gak jelas. Ini yang di dapat:
1. Konsep organizational capability ini, berkembang dari individual capability. So, karakteristiknya kurang lebih sama, yaitu survive, flexible, etc.
2. elemen yang penting di dalam nya ada yang bilang share mind set, capacity to change, leadership dan management practices
3. Ada juga yang bilang organizational capability itu terdiri dari functional capability, general management capability
4. Kebanyakan artikel membahasnya ke arah HR, Leadership capability dan Knowledge management

Dari sini mulai hilang arah, sepertinya, kalau boleh mendingan memperdalam HR, Leadership capability dan Knowledge Management. Dasarnya, untuk membangun organizational capability people memegang peranan penting. Juga dikaitkan dengan capacity to change.

Halo teman-teman ada yang punya buku berkaitan dengan ini? Susah juga menghilangkan perasaan dan pikiran bahwa kuliah ini "gelap" buatku. Sementara ini buku yang sudah ada adalah Implanting Strategic Management nya Ansoff, Strategic Management and business policy nya wheelen (buku standar yang dipakai SBM)

Thursday, July 5, 2007

power and politics: again...

Power and politics course becoming debate commodity back? Becoming political commodity. Why?
What is happening? It is just like we want a cake but did not know what kind of cake do we want? And what is the benefit of eating that cake? Is it a child ego or a parent ego? It is just like a child ask something to her/his mommy and make the mommy's headache because could not find what the heck of thing did he/she want? Or, just to make all of us think about what kind of power and politics do we want? I tried to find out what kind of politics do we have to deliver to student? I think the student will find their job and may be build a company (10% of them). At micro level, they will need to find out how is an organization work, what climate do they have at the company, what the structure of power do the have? How to surf office politics to survive. Just to survive; emphasize on performance and communication, not on dirty politics. Once I gave the student a quiz "how political are you". It is interesting because most of them are political survival, only 10 % - 15 % of them are corporate polititian and about 5 % are political shark.
Now, what should they know if they run their own business? They have to know politics at macro level. They have to know what will happening to their company if the economy policy change? They have to know the current regulation and the impact to their company. Or, do they have to know about what is the impact of political party system in Indonesia to their business? I don't know.

Thursday, June 21, 2007

Bucat bisul

Eta mah istilah urang Sunda mun aya pagawean atawa perkara nu kakara anggeus. Basa Indonesia na mah. Pecah abses hehehe...yang lebih dramatis sih abses meletus kali ya. hahaha....begitulah. Ya...sekarang mulai kerasa ada yang lega...meskipun tadi merasa gak puas dengan kualitas ujian yang dikumpul. Waktu ngejilid saya bilang sama bu Yuni...makanya kalau kasih ujian ke mahasiswa mesti ngukur nih bisa gak diselesaikan dalam waktu yang ditentukan. Sebetulnya sih lima hari cukup lama, untuk yang tidak punya pekerjaan lain selain mahasiswa. Itu persoalan utamanya, sekolah sambil kerja. Siapa suruh sekolah...kata orang-orang...Siapa ya.....teuing atuh. Jadi, jadi dosen itu gak bisa sembarangan aja, diukur...intinya di situ bisakah kita mengukur antara ujian dengan beban kerja.
Ngomong soal ngukur...ada hal lain yang juga perlu diukur. Pagi ini sbm mulai vision and mission revisiting. Kunaon atuh nya, di revisit terus...hehehe. Diskusi hot, masing-masing punya persepsi dan argumentasi tentang apa yang ingin ditampilkan dalam visi misi ini. Yang satu inginnya tinggiii sekali. Di jalan ke sbm (dari Preanger tempat kita rapat nih) saya merenung. Kenapa atuh kita gak pernah apal visi misi selama ini. Pertama tidak ada internalisasi, yang kedua itu tandanya tidak menjadi inspirasi. Bukan untuk dihapal kok. Tapi untuk dihayati. Kalau individu merasa apa yang ada di misi itu terlalu tinggi, sehingga bener-bener seperti mimpi (mimpi lho bukan cita cita) maka ya sudah tinggal mimpi aja. Tidak menjadi inspirasi lagi dong...Memang beda mimpi dengan dream....Kalau kita menginginkan sesuatu kita akan bilang sampai termimpi-mimpi. Tapi kalau kita bilang seperti...ah itu sih cuma mimpi. Artinya sudah beda lagi. Mana yang diinginkan...mimpi atau impian...Memang...bahasa itu memiliki makna mendalam. Sudah dulu ah...nanti diterusin...mau rapat lagi.

Wednesday, June 13, 2007

I'm 30/100 censoring! Click to see my self-monitoring personality.

PR

What is Culture? What is Value? Personal Value? Personal Trait? Performance?

Relationship between Culture, Personal Value, Personal Trait and Performance?

Tuesday, June 12, 2007

Standar Nilai

Killer...itu pasti sebutan mahasiswaku. Hari ini yang komplen banyak sekali. Kenapa aku dapat C? Kenapa kelas B lebih murah hati dosennya? Kenapa aku dapat lebih jelek dari si anu yang tidak aktif di kerja sindikat. dsb.dsb. Sudah adilkah penilaian ibu? Kalau gak kena plagiarism, mestinya aku kan dapat A.
Ha?Aku bilang tanya deh diri sendiri, kalau sekarang dapat A, kemudian nanti kerja di bidang ini, bisa memberikan hasil sekualitas A enggak? Bagaimana kalau orang nanya, MBA ITB kasih nilai A padahal gak bisa kerja? Wah...berat tanggungjawab sosialnya.
Kedua kalau aku minta peer evaluation, pasti kamu gak akan bisa objective deh. Pasti temen kamu yang free rider juga akan kamu kasih nilai bagus. Capek deh.

Pertanyaannya, perlukah ada standar penilaian agar dosen memberikan penilaian yang lebih adil? Apakah betul memberikan nilai kelas semuanya A atau 80% A, sisanya B? Atau mungkin ada dosen yang memberikan nilai semuanya C?

Nilai, mempunyai fungsi mengukur keberhasilan belajar mahasiswa, mengukur keberhasilan mengajar dosen. Karenanya nilai harus adil, di antara mahasiswa yang satu dengan yang lain. Tetapi nilai juga memiliki makna yang berkaitan dengan eksternal SBM. Jika seorang mahasiswa memiliki nilai B maka tentu masyarakat mengharapkan kualitas B juga. Yang seperti apa yang sesuai dengan kualitas B ini, tentu saja faktornya banyak. Termasuk faktor nasib, misalnya ketika satu hari seorang mahasiswa tidak bisa hadir, dan hari itu ada tes, maka "sial" lah mahasiswa tersebut. Tapi, kualitas manusia kan tidak hanya ditentukan oleh satu kuliah, di satu masa. Tapi ditentukan oleh banyak faktor di masa yang berbeda. Memang pelik masalahnya.

SBM sudah tepatkah ...?

Hari ini kupenuhi undangan Pak Andi Budiman di Chevron untuk menghadiri seminar 4 mahasiswa bimbinganku di MBA. Aku sudah sampai di Budi Kemuliaan jam 10 kurang. Lega juga. soalnya di P Gede sempet kena macet...duhhh...nyarus deh. Malu juga kalau sampai telat. Tidak profesional. Beruntung ada pak Rudi yang mau jadi "joki", berdasi pula, sejak dari bandung.... :=) Nuhuuuunn pisan pak Rudi. Sebelum semuanya siap, sambil nunggu obrolan dengan pak Andi membuat aku mikir juga: pertama, mau jadi apa sih sebetulnya anak sbm? (salah satu putri pak Andi di sbm, sudah semester 6) Wah...mesti jawab apa ya? Jawabanku cuma ...bahwa 10 % dari mereka sudah diterima kerja...surprise juga pak Andi mendengarnya. Ya...ini batu uji pertama bagi SBM. Agustus ini angkatan pertama lulus...bakal jadi apa mereka setelah lulus. Hari ini Ayu juga menjalani tes bank permata bersama 13 temannya yang calon cum laude. Hmmm......semoga aja ...Perbincangan dengan pak Andi berlanjut ke soal, kemungkinan memasukkan pemagang baru...tidak ada yang bisa disimpulkan dari obrolan ini.

Ada beberapa hal yang ditangkap:
1. sebelum mereka magang, dibutuhkan kesiapan mereka sehingga learning process nya tidak terlalu panjang
2. soal bahasa Inggris
3. soal kemampuan komputer
4. ada program lain yang ditawarkan, magang untuk 5 best student, baik MBA maupun S1.
5. untuk s1 SBM masih terlalu melebar, kurang fokus.

Masukan yang berharga, sehingga mungkin bisa menjadi bahan perbaikan di SBM.

Yang paling ideal adalah evaluasi lulusan pertama, dapatkan umpan balik dari para employer mereka, sehingga SBM bisa melakukan perbaikan kurikulum dan konsep pendidikannya.

Terlambat? ...Mungkin ya...tapi memang harus dilakukan...

Umpan balik yang diperoleh dari seminar TA mahasiswaku kelihatannya adalah:
Ganesya, cukup siap dan memuaskan hasil kerjanya. (Ada nuansa politis yang kutangkap dari sana, dampak merger dua budaya yang berbeda).
Bimo, lumayan, dengan diijinkannya menggunakan data periode yang lalu yang memungkinkan dia melanjutkan TA nya, Alhamdulillah kemungkinan dia bisa selesai sebulan lagi kelihatannya bisa dicapai.
Nadya, gak jelas, deliverablenya apa? Di akhir seminar kami rumuskan bahwa Nadya akan membuat survey untuk memperoleh gambaran pelaksanaan PMP saat ini, manual PMP, kurikulum dan bahan trainingnya, termasuk video klip yang menunjukkan demo pelaksanaan PMP.
Wira, rumusan akhirnya, evaluasi implementasi TRIMS dalam proses perencanaan training untuk mengidentifikasi OFI sehingga bisa menurunkan pending training yang sangat besar.
Sepertinya pak Andi kurang puas dengan hasil kerja dua anak ini. Yaaa.....bisa jadi...karena kurang gesit. Dua bulan tidak ada kemajuan berarti....
Menurut Ganesy, memang kurang gesit, sehingga pak Andi minta Ganesy juga membantu mereka. Pesen dari Pak Andi lewat Ganesy, aku boleh ngirim magang baru...tapi aku mesti tes dulu kemampuan mereka untuk analisis dan problem solvingnya.

Wednesday, June 6, 2007

Gerbang Otomatis

Minggu ini ITB melakukan uji coba penggunaan gerbang otomatis. Yang dimaksud gerbang otomatis adalah portal elektronik yang bisa dibuka dengan menggunakan kartu dosen atau pegawai yang sudah didisain untuk itu. Apa istimewanya? Teknologinya biasa aja, bahkan scannernya dibuat oleh dosen dan mahasiswa (elektro) ITB. Tidak ada yang istimewa, kecuali sosialisasi yang kelihatannya masih kurang. Perubahan sistem seperti ini seperti biasa akan menimbulkan banyak komplen.
Parkir kendaraan, merupakan masalah pelik untuk ITB yang memiliki kampus dengan lahan terbatas. Sudah lama ITB membatasi kendaraan masuk kampus hanya untuk yang memiliki sticker parkir saja yang boleh masuk. Sistem sticker ini diterapkan dengan ketentuan, setiap dosen akan mendapat jatah satu sticker dengan biaya tertentu. Jika ingin sticker ke dua, (buat yang memiliki mobil lebih dari satu maka sticker kedua akan dicharge mahal sekali. Kendati demikian, masih banyak dosen atau karyawan yang minta sticker kedua. Jadi masih banyak persoalan yang dihadapi, karena kemudian ketertiban dalam kampus sulit diatur dan masih sering terjadi pencurian kendaraan dari dalam kampus. Persoalan lain yang dihadapi adalah terbatasnya jumlah satpam yang bertugas menjaga kampus. Akhir tahun 2006 ITB melakukan razia kendaraan bermotor. Semua mobil dan motor diperiksa.


Pertama, keresahan yang muncul di pegawai yang non PNS, karena tidak mendapatkan kartu identitas yang dapat digunakan untuk tanda masuk gerbang otomatis ini.

Politikus

Situasi seperti apa yang paling disukai oleh politikus? Ada banyak kondisi di mana seorang hiu politis berbahagia, antara lain situasi di mana aturan tidak jelas. Dalam situasi ini, terjadilah manuver manuver politik yang bisa dilancarkan seekor hiu. Bahkan aturan adapun, seorang hiu politik akan mencari celah yang bisa dilewatinya. Di tengah-tengah ketidak jelasan seorang hiu akan melancarkan jurus-jurus yang akan menciptakan ketergantungan kepada dirinya. .to be continued

Power and Politics.

Rapat melontarkan issue tentang matakuliah power and politic. Apakah matakuliah ini akan dihilangkan dan digabung ke matakuliah strategi? Atau tetap power and politic saja.
Pertanyaan yang mencuat adalah mengapa harus dihilangkan? Salah satu alasan utama adalah tidak ada yang mengajar. Alasan lain adalah matakuliah ini sebetulnya dirancang untuk memasukkan wawasan politik negara. Dua alasan ini tidak pas sebetulnya. Haruskah sebuah matakuliah dihilangkan karena tidak ada dosennya? Tidak bisakan sbm mengusahakan atau membina dosen yang mengajarnya? Ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan, mempertimbangkan kurikulum sbm. Pertanyaan yang paling dasar: apakah yang dimaksud dengan power and politic? Apa perlunya kuliah ini masuk ke kurikulum sbm?
Jika power and politic yang dimaksudkan adalah power dan politic di tingkat nasional, seperti apa rancangan kuliahnya? Hukum ketatanegaraan Indonesia? UUD45 dan Pancasila? Bagaimana konstelasi kekuasaan dan penerapan kekuasaan di Indonesia? Lantas apa pengaruhnya kepada bisnis? Apa tidak lebih baik kalau sksnya digunakan untuk memperbesar sks Ekonomi. Sehingga di kuliah ekonomi, bisa dibahas ekonomi mikro dan makro, yang erat kaitannya dengan praktik bisnis.
Lantas apakah office politic tidak perlu diajarkan? Positifnya, jika hal ini diajarkan, digabung dengan etika, maka kuliah ini membekali mahasiswa untuk menjadi survivor, minimal, di tengah politik usaha yang seringkali dijalankan, tidak harus jadi political shark. Hanya saja memang tidak butuh 4 sks, terlalu banyak. Kuliah ini bisa juga disisipkan di berbagai kuliah people management seperti di Leadership, bagaimana power dan penggunaannya dalam kepemimpinan. Dalam manajemen perubahan juga bisa, bagaimana memanfaatkan power dalam mengelola perubahan. Dalam mata kuliah labor union juga bisa, khusus tentang kaitan hubungan industrial, serikat pekerja dan kekuasaan dan politik kantor. Dalam Komunikasi juga bisa, bagaimana komunikasi dimanfaatkan untuk mempengaruhi orang lain. Dalam OB sendiri bisa diberikan dasar-dasarnya.
Yang lebih penting lagi sebetulnya secara keseluruhan kurikulum sbm itu seperti apa profil bangunannya?

Sunday, June 3, 2007

Tutor: part2. What SBM need from Tutor

Tutor have important roles in SBM. First, they have to guide practical or technical ability of students in a particular course.
There are two type tutors in SBM, part time tutors anda full time tutor. Part time tutor is tutor hired for a specific course and have responsibility around that course, such as:
  • tutoring,
  • assist lecturer in checking student attendance,
  • assist lecturer in preparing course material,
  • assist lecturer in conducting test, examination, and gradin
Full time tutor has two type job, i.e. teaching and learning jobs, research and administration jobs. Full time tutor, have possibility to be a lecturer, if they meet the criteria.
Therefore, addition conditions for full time tutor are writing capability, for writing research report, journal article or case.

What is the criteria of SBM tutor?
There are some factors to be considered to determine the criteria needed for selecting a tutor.
First of all, is SBM values, i.e. ethical values, integrity. So, tutor of SBM have to have high ethical values, and high integrity: honest, opened to themself, and has spirit to excell good ethical values in conduct their class, aligned with the SBM mission to create ethical entrepreneurs. The implication of SBM values, the tutors have to have ability to build students discipline.
Second, as part of SBM education system, lecturing and tutoring will be held in English and learning activities mostly done to promote action learning in group and as experience based learning. The implication to tutor requirements are: tutor have to speak English fluently, able to promote good team environment, assure that all team member share their knowledge and got lesson learned from their learning activities. Tutors themself have to work in team (one of faculty member remind me about this, she denied a tutor to be in her team because the tutor too ambitious to make herself mor valuable compare to other tutors; it is about make all the students got equal treatment)...to be continued

Empty Nest Syndrome

Ieu meureun nu disebut empty nest syndrome teh. Hulang-huleng we, asa teu puguh laku. Di imah ngan duaan. Rek gawe hoream rek masak hoream. Naon lah ngan ngotoran dapur we wungkul, masak keur duaan. Jadi rus ras, asa loba nu laleungitan. Jadi ngarasa kolot ayeuna mah. Ehm... Sakeudeung deui nu bungsu lulus, moal lila deui pasti neangan gawe. Imah pasti kosong, tinggal duaan we, tilu jeung pembantu meureun. Pola kahirupan jigana geus kudu dirobah.
Atuda lucu tadi mah, ka toko duaan. Salaki kalah hulang huleng dititah pesen dahar teh. Naon nya, cenah. Karunya oge. Kukurilingan di Giant, sakeudeung ge geus capek. Kabayang we engke kudu ngajar di Chevron atawa Freeport, sapoe jeput. Kuat kitu nangtung ti jam 8 nepi ka jam 5 sore? Duka atuh kumaha engke we. Hehehe...biasanya urang Sunda mah cenah sok ngomong kumaha engke ari nanaon teh.
Naha pola kudu dirobah? Sok we geura, balanja geus biasa loba, ayeuna kudu dikurangan. Eusi kulkas teu orot-orot. Eusi kulkas kudu dirobah nu gampang diolah tapi tetep sehat. Parabot mun aya mah nu garampang we. Madato? keur naon Madato saha nu reuk make. Pantes atuh nyulam, hakken disebut hobby nini-nini, da memang pantes. Kahiji teu butuh tanaga gede jiga ngebon, kadua memang bisa dipigawe bari mikiran sagala rupa. Cag heula.

Wednesday, May 30, 2007

Hero or Looser

Siang itu aku terperangkap di tengah pertengkaran dua kolegaku. Ingin menghindar tapi kok tidak enak ya. Juga sedikit penasaran dengan apa yang dipertengkarkan mereka. Apa pasal? Ternyata ini persoalan lama yang menumpuk yang buntutnya berakhir pada perang argumentasi dan tuduhan ini. Yang satu merasa sudah membantu yang lain merasa justru dihambat, dan baru diselesaikan persoalannya pada saat yang sudah sangat mendesak. Kalau dirunut lebih jauh beberapa hal yang aku tangkap dari pertengkaran ini adalah:
Pihak program studi merasa tidak dibantu sama sekali selama ini, karena tidak ada kebijakan dan prosedur tertulis yang bisa dijadikan pegangan sehingga prodi tidak tahu apa yang harus dilakukan untuk mengusulkan pencairan dana untuk berbagai kegiatan. Di samping itu prodi juga merasa seringkali melakukan pekerjaan yang bukan pekerjaannya. Tapi, demi kelancaran operasi akademik terpaksa menjalankan tugas tersebut. Sehingga mereka berpikir, kenapa gak jadi departemen aja kalau begitu.
Pihak administrasi merasa, program studi seringkali mengusulkan anggaran yangt idak jelas dan mepet waktunya, sehingga menyulitkan. Masalahnya prosedur pengajuan dana itu panjang. Selain itu seringkali kalau ada komplain, program studi seringkali langsung protes atau memarahi bawahan pengelola administrasi ini, dan membuat stress. jadi permintaan wds adalah kalau ada komplen jangan langsung ke bawah dong.
Ok kata prodi kalau ada jam rusak maka saya akan ke wds. Bener gitu harus begitu? Alasannya adalah itu hal krusial bagi program studi. Misalnya jam rusak harus segera dibetulkan karena ada kaitannya dengan perhitungan keterlambatan mahasiswa yang datang.

Kelihatannya ada yang tidak beres dalam organisasi kerja SBM. Bagaimana mekanisme dan SOP yang perlu dijalani dalam mengurus aktivitas dari sejak klien, program studi, keuangan, sdm, dst.

Aku tercenung lama setelah itu...apa masalahnya? Kurang percaya? kurang kerjasama? masihkah kita dalam satu tim? terlalu banyak aktivitas sehingga tidak sempat menjalin hubungan baik dengan anggota tim yang lain? Bahaya sekali. Saya jadi ingat ketika anak anak masih kecil. Setiap bulan, kami menengok orangtuaku di Garut. Dengan dua anak masih kecil tidak heran kalau bawaan kami seabreg. Di sana boro boro sempat nyuci, kalaupun sempat nyuci hanya pakaian yang memang tidak bisa ditunda nyucinya, seperti pakaian anak-anak, yang tidak mungkin dibawa pulang dalam situasi kotor. Jadilah, kesibukan tersendiri ketika kembali ke rumah. Cucian harus dipisahkan. Barang-barang dibereskan kembali ke tempatnya. Masak untuk sore atau malam itu. Nyimpen oleh oleh ke lemari atau kulkas, dsb dsb. Anal-anak juga rewel kecapean. Badan sendiri, capek pula. Dalam situasi ini kalau tidak sadar, maka pertengkaran seringkali muncul tanpa disadari. Apakah situasi sbm sudah seperti ini? Semua sudah drawn in their job sehingga toleransi menjadi sangat rendah? Atau sudah hilangkah saling percaya antar anggota tim sehingga saling mencurigai? There is not any teamwork anymore. Semua ingin sendiri sendiri. Semua memikirkan KPI nya sendiri, kalau ada KPI. Semua mikirnya pokoknya pekerjaanku harus beres. Salah? Tidak juga. Yang salah barangkali bagaimana mencapai tujuan bersama dan bagaimana orang dihargai secara memadai, berkarya langsung atau tidak. Jika pujian selalu hanya ditujukan kepada seseorang, padahal ini hasil kerja tim, maka masuk akal saja jika yang satu merasa tidak memiliki hasil akhir. Cag!

Tuesday, May 29, 2007

Sepatu butut Ayu

Hari ini hari kedua Ayu di KL. Kemarin dia lapor kalau sepatunya rawing. Rawing? Gimana sih maksud rawing. Di sini, aku ngebayangin dia terpincang-pincang di tengah 20 temannya berjalan dari satu tempat ke tempat lain...ehmmm...melas sekali. Aku tanya lewat sms, jadi kamu sekarang jalan terpincang pincang dong ya. Oh enggak bu, cuma sepatuku seperti dimakan rayap, gitu, katanya, malu aja bu. ooohhh...gitu toh..Yang mana sih sepatu yang kamu bawa...Yang everbest katanya..Wah..itu kan bukan sepatu murahan. Tadinya kubayangkan yang dibawanya sepatu murahan jadi dibawa jalan sebentar aja sudah rusak. Bisa kubayangkan bagaimana bete nya dia. Dari sini, aku cuma bisa berharap, dia mengatasi semua perasaan itu, itu lebih penting, ketimbang kondisi sepatu butut itu sendiri. Semoga berbagai hambatan yang dihadapi di sana menjadi pelajaran berharga buat dia. Itu lebih penting daripada hanya menjadi kekecewaan saja.
Malamnya sambil terkantuk-kantuk kutunggu lanjutan smsnya. Gak sabar ku sms dia, tanya tentang nasib sepatunya. Sudah beli bu yang diskonan, katanya. Hahaha, diskonan...
Dari perjalanan ini dia juga dia bisa mendapat tambahan pelajaran, yang mana yang bener-bener teman, yang bagaimana yang bener-bener saudara, bagaimana hidup ini harus disyukuri. Dan yang paling penting aku merasakan betapa berharganya anak-anakku bagiku. Ada kekosongan besar yang kurasakan saat mereka berjauhan denganku. Klise?. Tapi itulah kenyataannya.