Sunday, September 30, 2007

Wartawan Gadungan?

Setelah pusing tujuh keliling ujian metode riset, aku memutuskan untuk melaksanakan niat tertunda untuk nengok keluarga di Garut. Di sana kami baru saja mendapat sumbangan untuk taman bacaan masyarakat (TBM). Adik-adikku bingung untuk segera mewujudkan taman bacaan yang cukup baik. Hmmm...cukup baik, untuk ukuran sebuah kampung kecil. Kebetulan ada pondok peninggalan orang tua, yang sekarang tidak ada penghuninya. Maka kami jadikan setengahnya untuk TKA dan sebagian lagi untuk TBM ini. Bukunya belum banyak, soalnya adikku masih belum srek mau beli buku seperti apa? Nasihatku sih, coba konsentrasikan ke remaja ke bawah aja dulu. Beli bacaan yang menyenangkan tapi ada nilai yang dapat diambil di dalamnya. Justru di situ rupanya kesulitannya. Kebanyakan buku komik yang ditemui.
Akhirnya, kami mengumpulkan buku-buku yang ada di rumah yang kami beli sewaktu anak anak masih kecil dan sekarang sudah tidak dibuka lagi. Lumayan, bisa memenuhi satu rak buku.
Saya minta anak saya bikin proyek mengumpulkan buku baik yang sudah ingin disumbangkan oleh orang karena sudah tidak dibutuhkan lagi misalnya. Proyek ini pernah dia lakukan waktu aksi sosial untuk panti asuhan.

Apa hubungannya dengan wartawan gadungan? Begini cerita singkatnya.
Di Garut sana setelah melihat fasilitas, sambil diskusi bagaimana menambah fasilitas ruang yang memadai, mencari dari mana duitnya? atau persisnya berapa banyak yang diperlukan, berapa lama kami bisa mengumpulkan uang yang diperlukan ini, dsb.dsb, biar sekalian bangunan TKA nya juga bisa diperbaiki...sampailah kami pada pembicaraan santai.
Salah satu ipar cerita, bagaimana mereka kedatangan lima wartawan yang bertahan bertanya tanya macam macam selama l3bih dari 3 jam , yang ujung-ujungnya minta duit.
Kalau soal yang begini, kami diajari dengan keras oleh ayah almarhum untuk mengatakan TIDAK .
Yang lucu di awal "wartawan" ini menasihati adik saya "bahwa setiap peser uang itu harus dapat dipertanggung jawabkan".
Kemudian dilanjutkan dengan "ada kabar semua sumbangan ini dijadikan fasilitas fisik saja"
Setelah lama berdebat, sampai mengatakan bahwa kami baru saja seminggu memperoleh sumbangan tersebut dan belum sempat beli buku, sampai buku tanbungannya pun diperlihatkan bahwa uangnya masih utuh ada di sana, akhirnya adik saya terbesar kalah sabar (bulan puasa pula), dan panggil kakak tertua yang ada di sana. Kakak kami bilang begini: silahkan anda laksanakan tugas anda, kalau mau memberitakan kami baik yang buruk maupun yang baik, silahkan sesuai dengan keadaan. Tapi kami juga punya hak dan kewajiban yang sama, kalau ada yang tidak beres, kami juga bisa melaporkan hal yang sama. Akhirnya mereka keluar. Gigit jari. Ngeloyor pergi ke jalan.
Selesai?.....Tunggu dulu.
Tidak lama kemudian seorang santri yang ada datang dan bilang para "wartawan" tadi minta kakak saya menemui mereka di jalan. "tidak ada cerita, aku mau sholat" kata kakak saya. Pulang kamu , katanya ke santri tadi. Jangan layani orang itu.
Tahu gak mempan, akhirnya mereka balik lagi ke rumah dan bisik-bisik bilang sama adik saya, " ya buat bensin aja lah" Dengan gemes adik saya bilang : "bagaimana saya mesti mempertanggungjawabkan uang bensin ini?" Skak maat...
Segera si wartawan gadungan ini ngeloyor pergi.....

Maaf pada para wartawan yang bener dan lurus. Tapi cerita ini adalah cerita yang betul-betul terjadi. Kami prihatin melihatnya.

Yang lebih memprihatinkan, lima wartawan ini di antar oleh orang dari dinas yang memberi bantuan untuk TBM tadi.

Saya berdoa kepada Tuhan YME untuk mendapat jalan agar bisa segera membangun TKA ini dengan kekuatan kami tanpa harus menerima bantuan pemerintah. Adik-adik saya (semua perempuan) kapok kalau harus menemui lagi hal seperti ini. Kami orang sederhana yang hanya ingin mewujudkan impian orangtua kami yang belum terwujud di masa hidup beliau, yaitu mendirikan sekolah buat rakyat.

No comments: