Tuesday, July 17, 2007

Jadi Guru Besar?,Susah setengah mati deh.

Jadi professor (guru besar) itu cita-cita atau keharusan? Barangkali jawabannya bisa dua-duanya. Dari sisi individu bisa jadi cita cita (bisa jadi.....) jika dilihat bahwa menjadi professor itu merupakan tangga tertinggi dalam karir seorang dosen. Harusnya begitu. Jangan tanya mengapa ada yang tidak berminat. Penyebabnya bisa beragam, ada yang malas mengurus tetek bengek persyaratannya, ada yang tidak mau menanggung implikasinya menjadi professor, dsb. dsb.
Dari sisi perguruan tinggi ya keharusan, soalnya kelompok keahlian atau laboratorium mesti dipimpin oleh seorang professor.
Tapi, mengapa begitu susah untuk menjadi professor, terutama di ITB. Beginilah perjalanan pengajuan kenaikan jabatan ke Guru Besar :
1. setelah berada di Lektor Kepala dan sudah mengumpulkan angka kredit sehingga mencapai angka 850 dengan berbagai persyaratan tertentu termasuk komposisi pengajaran, penelitian dsb terpenuhi, semua ini diajukan ke Tim Penilai Angka Kredit di Fakultas atau Sekolah. Lolos? Tidak ada kesalahan? Penilaian sesuai dengan aturan? Rekomendasi dari dua guru besar lainnya ada? Lewat. (Otherwise, you have to revalidate your score...sigh). Kalau lewat...lanjut
2. Selanjutnya semua berkas usulan dengan rekomendasi Ketua Senat Fakultas atau Sekolah oleh Dekan diusulkan ke TPAK Institut/Universitas. Disini diteliti lagi segala sesuatu nya. Waah ada yang salah mencantumkan item atau salah penilaian...kembalikan ke Fakultas atau Sekolah untuk diperbaiki. Kalau prima...lewat ke langkah berikutnya. Ke Senat Akademik
3. Di senat akdemik, berkas usualan ini dibahas di Komisi, komisi ngecek lagi semua persyaratan, sama seperti tadi kalau masih ada kekeliruan dikembalikan ke tempat asal berkas. Kalau Komisi 3 mengatakan usulan OK, proses lebih lanjut. Selanjutnya adalah minta pertimbangan Majlis Guru Besar.
4. Di MGB, sama ada Komisi yang akan membahasnya, dengan kriteria yang ditentukan MGB. Hasilnya bisa "direkomendasikan" atau "belum bisa mendapat pertimbangan".
Kembali ke Komisi 3 (sebagai bagian dari Senat tentunya).

Di sini lah terkadang tidak nyambung, apa makna "belum bisa mendapat pertimbangan" ini? Bagaimana harus diterjemahkannya? Ditolak selama lamanya? Ditolak saat ini tapi boleh diajukan lagi setelah diperbaiki? Kalau harus diperbaiki, bagian mana yang kurang?

Di sinilah kerumitan mulai. Persoalannya, ada kriteria yang diterapkan oleh MGB yang tidak dapat dijabarkan ke dalam kata-kata , sebagai inclusion requirement nya MGB.

Persoalannya berkaitan dengan proses pengembangan dosen, pegembangan kualitas dan kepakaran yang berkaitan dengan pengembangan karirnya.
Pertama, dosen sendiri perlu tahu apa yang harus dirintisnya dan secara persisten dijalaninya untuk dapat mencapai posisi Guru Besar ini. Kriteria ini yang menjadi guidancenya. Bagaimana bisa memperoleh arah yang tepat jika arah tersebut tidak diketahuinya. Maka sia-sia lah usaha 7 tahun mengumpulkan angka kredit, karena tidak sesuai dengan kriteria "beyond number called angka kredit". Guidance ini harus formal, sehingga merupakan pegangan yang legitimate.
Kedua, jika Fakultas/Sekolah atau dalam hal ini Kelompok Kepakaran ikut bertanggung jawab dalam pengembangan dosennya (harusnya sih begitu) maka Fakultas/Sekolah/KK juga perlu tahu untuk mendapat arahan cara bagaimana harus mengarahkan dosen-dosen dan bagaimana memfasilitasinya. Jika ada. Soalnya selama ini semuanya usaha sendiri. Cari saluran sendiri, cari network sendiri, cari kenalan di luar negeri sendiri. Fasilitas dari ITB? Oh ada dong, nama besar ITB sendiri dan rekomendasi rekan sejawat atau senior. Cukup kan? Apa yang kurang?
Kelemahan ini perlu dikaji lagi jika ingin berkembang. Situasinya sudah mulai kritis. Bukan berarti harus melunakkan kriteria, untuk kemudian mengurangi kualitas. Katakanlah kriteria harus mempunyai pengakuan internasional. Apa makna pengakuan internasional? menulis di jurnal internasional? Berapa lama butuh waktu persiapannya? Setahun? Dua tahun? Perlu berapa duit? Rasanya tidak ada gratis untuk mengajukan artikel atau menghadiri sebuah seminar yang kemudian makalahnya dimuat di proceedingnya. Sebagai gambaran saat ini, untuk ikut seminar di luar negeri untuk satu orang kisarannya sekitar Rp.30 juta per orang. Dibayari ITB? Amiiin..............
Dalam hal ini, beberapa Ketua Senat Fakultas dan Dekan memohon diberi waktu untuk itu. Soalnya perlu cari sponsor, cari proyek penelitian, dsb untuk mengumpulkan sarana dan fasilitas agar bisa mengirim dosennya ke seminar internasional. Apalagi? Kalau saya ikut seminar internasional. Itu termasuk pengakuan enggak? Oh, diundang tidak? Kalau tidak diundang, siapapun juga bisa datang. Jadi bukan pengakuan dong. Berat kan?
Syarat lain adalah sudah harus S3, sudah jadi pembimbing (minimal co pembimbing) buat S3. Yang ini gak terlalu sulit buat Fakultas yang sudah menyelenggarakan program S3. Tetapi menjadi sulit buat yang belum menyelenggarakan program S3.

2 comments:

Unknown said...

Waduhh ..., ternyata susah ya jadi Guru Besar. Kalau gitu saya cukup jadi Doktor saja deh, Bu Nur ... :-)

Salam,
Efendi Arianto

Nurhajati Ma'mun said...

Hehehe...itu juga gak sederhana ya pak. Banyak tugasnya ...seabreg abreg.
Sebetulnya sih menyenagkan kok beljar lagi. Cuma...kalau sambil memelihara agar periuk nasi tetap ngepul...ya berat lah.